Tampak pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said
(paling kanan) menjadi pembawa acara dalam kegiatan Training Center Pemantapan
Pancasila Tim Dakwah Hidayatullah yang digelar di Balikpapan, November 1983. (Dokumentasi www.hidayatullah.or.id)
Memproses keimanan yang melahirkan kemurnian niat
dan kekuatan untuk menggulirkan transformasi sosial secara berkesinambungan mutlak
dengan merujuk sistematika wahyu. Ketika wahyu turun, otomatis lahirlah
struktur kepemimpinan yang kongkrit. Perpaduan dari kearifan senior, generasi
tua (samahatus syuyukh) dan semangat yunior, generasi muda (hamasatus syabab).
Jadi, menguatkan daya serap terhadap
sistematika wahyu itu dengan sistem komando imamah-jamaah. Komando dapat
berjalan dengan efektif dan efisien itu dengan sami’na wa ‘atha’na (saya
mendengar dan saya siap untuk patuh).
Siap untuk memimpin dan dipimpin dengan
spirit yang sama. Siap ditugaskan untuk iqamatud din (menegakkan
agama). Ketaatan tanpa ketulusan adalah taqlidul a’ma
(mengekor).Oleh karena itu perlu dilakukan proses iqra’ dalam arti yang luas,
agar mampu taat dengan penuh kesadaran dan kesabaran.
Pengantar
Fenomena Sistematika Wahyu pada awal langkah lembaga ini bisa kita rasakan atsarnya (efek dan pengaruhnya) hingga kini.
Bahkan, keterpanggilan bergabungnya generasi awal di lembaga perjuangan ini
didorong oleh spirit manhaj ini.
Intinya adalah penerapan konsep-konsep wahyu mulai
dari surat Al Alaq 1-5 – surat Al Fatihah dalam kehidupan keseharian. Petugas
berusaha semaksimal mungkin sebagai alat peraga wahyu yang beroperasi dalam
berbagai skala kehidupan. Mendekatkan jarak antara idealitas wahyu dengan
realitas pemeluknya.
Kata Ulama : Al Quran itu tidak dapat berbicara, yang
menyuarakannya dengan lantang adalah generasi qurani (Al Quran laa yunthiq
walaakin yunthiquhur rijal). Dengan diamalkan, maka akan melahirkan
berbagai harapan, ide, ilham, interpertasi baru, dari yang sudah ada (al
Quranhammalatul ma’na). Yang menghasilkan bimbingan dan keterlibatan Allah
dalam gerak-langkah.
Kehadiran Allah itu (tadakhul rabbani) terasa
dari hasil pekerjaan yang seringkali tidak sepadan dengan kemampuan, sehingga
membuat orang lain terheran-heran. Para peraga wahyu di lapangan ketika
diterjunkan secara bebas, sering membuat peristiwa, menciptakan kejutan, dan
membuat jalannya sejarah. Sementara itu, jika terjadi sedikit penyimpangan dari
rambu-rambu wahyu, dengan serta-merta Allah Ta’ala akan
menarik diri dari serangkaian pekerjaan itu dan muncullah berbagai persoalan
sebagai ujian yang tidak terduga-duga.
Semakin jauh perjalanan kita dari komando wahyu, maka
hukuman dari-Nya akan datang di luar planning kita dengan kelahiran
individu yang tidak shalih dan pemimpin yang menindas. Kelahiran kepemimpinan (al
Qiyadah) dan generasi pelanjut (al Jundiyah) ke depan
ditentukan oleh keterikatan kita yang demikian kuat (iltizam) dengan
manhaj sistematika nuzulnya wahyu ini.
Demikianlah Kami jadikan berteman sebagian
orang-orang yang zhalim itu dengan sebagian lainnya disebabkan apa yang mereka
lakukan (QS. Al Anam (6) : 129).
Wahai kaum mukmin, ingatlah perintah Allah Ta’ala yang
diberikan kepada kalian untuk mengesakan-Nya. Juga perhatikanlah fitrah tauhid
yang telah Allah tanamkan kepada kalian, ketika kalian masih berada dalam rahim
ibu kalian. Kalian berkata, kami dengar dan kami taat kepada perintah
untuk mentauhidkan-MU. Karena itu taatlah kalian kepada Allah, sungguh Allah
Mengetahui isi hati kalian (QS. Al Maidah (5) : 7).
Jadi, betapa nikmatnya hidup dibawah naungan wahyu
itu. Baik secara individu, keluarga, sosial, dan organisasi kita. Sekalipun
berat, tetapi dengan pertolongan Allah Ta’ala akan terasa
mengasyikkan. Berat, karena kadang menuntut pengorbanan yang seakan
tidak manusiawi lagi, pelaksanaan perintah yang tidak sesuai dengan
kecenderungan/subyektifitas nafsu pribadi. Tetapi, nikmat dan mengasyikkan
karena ada keyakinan bahwa Allah Ta’ala selalu menyertai dan
memandu dalam perjalanan. Ada rasa kepuasan batin jika melaksanakan sesuatu
dengan tetap konsisten di jalan-Nya.
Bisa dibayangkan, sebagaimana disampaikan oleh Ustadz
Abdul Majid Aziz, dalam usia diatas 60-an tahun harus mengemban dakwah di Irian
Jaya, bersama istri dengan anak yang cukup banyak, misalnya. Tetapi, setelah dijalani, hiburan dari Allah
senantiasa datang, dengan ditemukannya berbagai kemudahan dan jalan keluar dari
kerumitan sepanjang perjalanan. Memang, dengan hidup dalam lingkaran wahyu sistem,
seseorang akan selalu dapat mengambil manfaat (hikmah) dibalik segala macam
kondisi.
Karena, pada dasarnya senang dan susah, gagal dan
sukses, maju dan mundur, statis dan dinamis, lahan basah dan kering, muncul dan
tenggelam, kejadian kecil dan kejadian besar, kelahiran dan kematian, itu semua
ujian dari Allah.
Nilai Dasar
Lewat penghayatan Surat Al Alaq 1-5 akan muncul
keyakinan 100 persen. Tanpa ada sedikit celah keraguan. Bahwa Allah Ta’ala tidak
mati sebagaimana aqidah yang dipahami oleh kaum Nasrani. Na’udzu billah min
zalik.
Tidur saja, Allah Ta’ala tidak.
Inilah kekayaan yang paling mahal melebihi intelektual. Keyakinan inilah bekal
yang sangat diperlukan untuk mengemban tugas. Berjuang di segala medan. Baik di
pelosok Merauke, hingga ke ujung Maroko.
Keyakinan akan melahirkan sikap senantiasa tegar,
teguh, pantang menyerah, dalam segala situasi dan kondisi. Tidak ada susah,
kecut, sedih, sebab yakin bahwa Allah Ta’ala mem-backup segala
gerak-geriknya. Sedang Ia adalah Maha segala-galanya.Maha Adil, Maha Kuasa,
Maha Kuat, Maha Merajai, jadi apa yang perlu dikhawatirkan?
Yang nampak adalah sikap konsisten, ketegaran,
istiqomah, siap dengan segala resiko yang ditemukan ditengah-tengah menjalankan
tugas dakwah dan memikul tanggungjawab. Sikap demikian merupakan warna dasar
(minimal) celupan surah Al ‘Alaq pada diri seseorang, sebagai kelanjutan dan
konsekwensi dari sikap menempatkan Allah Ta’ala sebagai
satu-satunya Rabbul ‘Alamin. Menempatkan-Nya sebagai Tuhan menuntut adanya
keyakinan bahwa hanya Dia yang patut dipuji, hanya Dia yang patut ditonjolkan.
Manusia semua hanyalah hamba yang tidak memiliki kemampuan dan kelebihan
apa-apa.
Sikap begini pula yang menghasilkan sesuatu yang
sangat positif, tidak merasa kecewa bila suatu saat dilecehkan dan dikucilkan
serta dikecilkan orang. Tidak ada rasa dongkol (ghill), sekalipun
hasil karya dan perjuangannya tidak mendapatkan penghargaan dan penghormatan
yang layak, sebab memang yang patut menerimanya hanyalah Allah Ta’ala.
Sebagai hamba yang melaksanakan perintah, tanpa intress dan kepentingan, yang
penting baginya adalah tegaknya kalimah Allah di muka bumi ini. Dan inilah
sebuah kemenangan yang besar.
Gejala-gejala keyakinan ini demikian banyak
menghadirkan bukti. Dalam setiap penugasan, bahkan ke daerah-daerah menantang
dan terpencil, tenaga-tenaga yang semula tidak punya bekal yang memadai dari
sisi intelektual, terbukti bisa sukses (eksis) hanya dengan berbekal keyakinan.
Sekalipun, bukan berarti bahwa intelektual itu tidak
penting. Pada kondisi dan fase yang lain, intelektual tetap merupakan kebutuhan
yang tidak bisa dikesampingkan. Tetapi, fakta klasik dan kontemporer
membuktikan, kekuatan mental yang mengantarkan seseorang untuk sukses dan
mempertahankan di puncak kesuksesan.
Seberapa besar keyakinan seorang kader, perlu
sesekali diuji-coba di lapangan, dengan cara memberinya tugas yang berat,
atau bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan yang ditanganinya selama ini, atau
bertolak-belakang dengan latar belakang akademik yang dimilikinya. Terjun
bebas untuk mengemban tugas merintis medan dakwah, hingga kini metode tersebut
masih relevan untuk menguji mutu keimanan kita.
Komponen Hidup Berwahyu
Selain keyakinan yang begitu tebal, Bapak Pimpinan
memberikan titik tekan (stressing) adanya dua ciri pendukung
sebagai bukti bahwa celupan wahyu nampak pada diri seseorang.
Dua ciri itu ialah, ibadah yang sungguh-sungguh (iqamatus
sholah) sebagai bukti keberadaan hamba yang lemah dan butuh bantuan
Allah. Ciri kedua, akhlakul karimah, yang dalam keseharian
sekaligus berfungsi untuk membangun citra diri dan menarik simpati. Jadi,
karakteristik itu tampak dalam mutu interaksi hablun minalloh (hubungan
vertikal) dan hablun minannas(hubungann horizontal).
Ini, memang berat, apalagi jika keduanya harus
berjalan bersama, sementara masih dibutuhkan kerja keras luar biasa sebagai
manifestasi sebuah keyakinan. Tetapi, bagaimanapun beratnya (secara pisik dan
ruhani), tetap harus dilaksanakan. Sebab, bohong saja ngomong soal
cita-cita dan perjuangan jika ibadahnya tidak beres. Bagaimana Allah Ta’ala akan
menurunkan bantuan-Nya, bila kewajiban sebagai hamba yang faqir, dho’if,
dzalil, tidak ditunaikan dengan baik. Bagaimana kekuatan itu akan didapat jika
shalat lail bolong-bolong?.
Allah telah berfirman, wa man yu’min billah,
yahdi qalbahu, barangsiapa yang beriman kepada Allah, Dia akan menunjuki
hatinya (QS. 64 : 11). Ini memang benar, bila iman itu betul-betul tidak
diragukan keberadaannya. Kembalinya kepada nilai ibadah seseorang, termasuk
pada doa dan zikirnya.
Kekuatan doa sebagai penentu keberhasilan, juga telah
dibuktikan terlalu banyak orang dan petugas sendiri, sekalipun tidak semua
diceritakan. Ustadz Amin Mahmud sempat mengisahkan pula khusus doa ini, berkaitan
dengan proses landing-nya Pesantren Hidayatullah di Palembang.
Ia yang merasa sudah berkali-kali bertugas di cabang,
tapi belum juga mencatatkan prestasi yang menurut kalkulasi imaniyahnya belum
memadai, akhirnya lari kembali kepada doa. Doa itu lantas diikutinya dengan
puasa Dawud. Dan, atas perkenan Allah Ta’ala, cabang Palembang bisa
berdiri, ini malah dengan lahan seluas 8 hektar. Sekarang menjadi 20 hektar.
Soal doa pula yang disitir Pak Soewardhani Soekarno
yang dilakukannya di Baitullah untuk cabang Irian. Maaf, saya bayangkan,
barangkali Allah Ta’ala nangis kasihan, melihat saya nangis
tersedu-sedu disitu. Kini, perkembangan Irian cukup menggembirakan.
Adapun tentang akhlak yang terpuji, Ustadz Usman
Palese menambahkan contoh bahwa Umar sekalipun yang kelak menjadi khalifah,
tetap menunduk bila berjumpa dengan Bilal. Padahal Bilal hanyalah seorang
mantan budak berkulit hitam legam.
Persoalannya hanyalah Bilal merupakan salah seorang As
Saabiqunal Awwaluun, kelompok orang yang dijamin kualitas keyakinannya dan
merupakan penentu bagi tetap berlangsungnya proses perjalanan agama Allah Ta’ala.
Terompah Bilal, terdengar di surga.
Syarat Mutlak
Syarat mutlak landingnya wahyu ke
dalam diri adalah hilangnya rasa thogho’. Melihat dirinya cukup
berharta, cukup berkuasa. Seolah-olah tidak memerlukan bantuan Allah Ta’ala.
Padahal perasaan ini secara potensial gampang sekali muncul.
Ada yang secara kultur memang sombong menyangkut
kesukuan, ada pula yang karena intelektual, faktor fisik, dan sebagainya. Bukan
hanya yang paling pintar, paling berprestasi, yang bisa sombong. Bahkan, yang
bodoh sekalipun, tidak memiliki alasan untuk sombong, bisa saja membanggakan
kebodohannya.
Keberhasilan dalam menyelesaikan pekerjaan, timbunan
prestasi, merupakan pemicu dan pemacu lain munculnya kesombongan. Dan ini
memang sangat manusiawi. Namun bila diperturutkan, akan menjadi penghalang
turunnya hidayah Allah Ta’ala (iman).
Beberapa petugas tidak keberatan bila kisah munculnya
kesombongan dalam dirinya dijadikan cermin disini. Pak Mansur Salbu (almarhum)
merupakan satu-satunya yang diharapkan pada saat itu mewujudkan keinginan
pesantren untuk menerbitkan majalah Suara Hidayatullah.
Diakui beliau sendiri, ia memang merasa menjadi orang
paling penting untuk tugas itu, sambil meremehkan yang lain. Tetapi, apa mau
dikata, setelah tiba pada saatnya ternyata semua ide macet. Berbagai kesulitan
juga menghalangi, akhirnya majalah itu tidak bisa terbit dengan semestinya,
sebelum akhirnya dipindahkan ke Surabaya.
Ustadz Chusnul Chuluq yang bertugas di Medan, juga
mencatat kisah yang menarik. Ia merupakan satu-satunya orang pesantren yang
mengawali tugas dengan katebelece. Saat itu dari Ali Said SH, mantan
Ketua Mahkamah Agung.
Begitu datang di Medan, memang hanya kemudahan saja
yang ditemuinya. Bertemu pejabat setingkat gubernur sama sekali tidak ada
kesulitan. Semua memberikan fasilitas, setidaknya uang saku dengan serta merta.
Orang-orang tergopoh-gopoh menyambutnya.
Tetapi, ternyata, kelanjutannya tidak semudah yang
dibayangkan. Hingga setengah tahun sejak itu, ia merasa dipingpong oleh Allah
dengan mengejar-ngejar orang yang menjanjikan akan menyerahkan lokasi untuk
pesantren seluas 2,5 hektar!. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan harus
bertaubat, dan melanjutkannya dengan puasa Dawud. Resep dari Ustadz Amin Mahmud
Palembang. Hingga lokasi itu benar-benar didapatkan.
Al Hajj Abdul Manan juga menceritakan kisah uniknya
di Saudi. Karena sudah begitu gampang berhubungan dengan orang-orang penting,
muncul kesombongannya. Tiba-tiba Allah Ta’ala seperti
mengingatkannya, paspornya hilang, padahal di Saudi cukup ketat operasi
orang-orang asing ‑ ilegal.
Merasa doanya sudah terhijabi oleh ke-thogho-annya,
Pak Mannan kembali ingat minta didoakan oleh pimpinan sebagai cerobong doa
jamaah. Akhirnya, berkat doa dari Gunung Tembak, pada hari berikutnya urusan
paspor bisa selesai, atas pertolongan seseorang yang belum dikenalnya yang
mengantar ke Kedubes Indonesia.
Akhirnya, sebuah perenungan yang disampaikan oleh
Ustadz Abdul Majid Aziz layak disimak. Kata beliau, saya hanya lulusan SD
seringkali merasa diri hebat, saya bayangkan apalagi mereka yang memiliki peran
yang menentukan, terkenal, sungguh sangat rawan. Dan repotnya, thogho’ itu
menjangkiti semua orang tanpa memandang warna bulu.
Keajaiban Berwahyu
Pada prinsipnya, menerapkan sistematika wahyu adalah
menempatkan Allah sebagai penunjuk jalan dalam segala peluang dan kesempatan.
Hal itu baru bisa dilakukan bila syariat Allah Ta’ala tidak
dilanggar.
Dan ini memang berat, karena begitu terjadi pelanggaran,
niscaya Allah Ta’ala akan segera menarik kembali
pertolongan-Nya. Akhirnya keserbasulitan itu yang datang secara bertubi-tubi.
Padahal, bila pertolongan Allah Ta’ala datang, segala sesuatu
akan berjalan dengan begitu mudahnya.
Bukan semata kebetulan!. Harap disadari, bila suatu
saat terjadi keajaiban-keajaiban yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran,
itu adalah pertolongan Allah Ta’ala.
Petugas-petugas dai Hidayatullah di Irian telah
mencatat begitu banyak keajaiban. Mereka bisa dengan serta merta berinteraksi
dengan kalangan yang sama sekali tidak sepadan, misalnya petugas di Wamena,
yang begitu diakrabi Kanwil Depsos. Sementara, mereka bisa bertahan di
tempatnya yang dekat akhirat dipinggirnya neraka, begitu istilah Bapak
Pimpinan. Itu saja sudah satu hal yang ajaib. Apalagi berhasil membawa misi
dengan sukses. Mereka menjadi petugas cabang yang sering naik pesawat. Sebab,
memang tidak ada alat transportasi lain, kecuali mau berjalan kaki.
Pak Suwardhani Soekarno malah punya koleksi lebih
banyak dalam hal yang aneh-aneh. Ia bisa ke London, dan dalam kondisi
kekurangan uang, malah bisa mengajak adiknya kemana-mana menjadiguide.
Rizki datang sendiri di jalan. Ia sampai ke Mesir.
Dan di sana disambut orang-orang Banjar yang lantas
mengajaknya keliling Mesir, ke kuburannya Fir’aun segala. Ia bisa naik haji dan
berkomunikasi dengan orang-orang asing dengan lancar. Bahasa Inggris bisa.
Bahasa Arab bisa. Tetapi, setelah itu lupa.
Dan, sebenarnya secara umum, wajah lembaga ini di
semua cabang adalah wajah keajaiban. Mereka semula bukan orang-orang yang
pantas menangani pekerjaannya. Tetapi, toh akhirnya mampu juga. Dengan landasan
keyakinan akan pertolongan Allah Ta’ala.
Dan, yang ajaib lagi, mereka sendiri tidak merasa
luar biasa, melainkan biasa-biasa saja. Dan, kalau orang lain menganggap itu
luar biasa, ya silahkan saja, kata Ustadz Abdul Qadir Jailani dari Dumai.
Kajian Sistematika Wahyu
Ustadz Abdurrahman Muhammad membagi konsep itu
menjadi dua. Sistematika Wahyu sebagai kajian, dan sebagai peragaan.
Sebagai kajian perlu diperdalam dengan dalil-dalil
yang kuat dan qath’i, secara terperinci lengkap dengan
penjabarannya. Hal ini penting dan mendesak, agar tidak ada keraguan bagi
setiap petugas dan juga agar generasi pelanjut kita tidak lagi meraba-raba.
Ustadz Abdul Qadir merasa, kadang kerepotan juga
melayani permintaan orang tentang penjabaran sistematika wahyu. Tetapi, Ustadz
Ir. Abdul Aziz Qahar menganggap, hal itu bukan masalah, karena memang tidak
disitu letak persoalannya. Di ujung Pandang, permintaan kajian Sistematika
Wahyu dilayaninya hanya dua kali. Lantas harus dilanjutkan dengan peragaan.
Sebab, pengalaman telah membuktikan, kajian saja
tidak menjadikan semua orang paham. Ir. Fuad Rumi, telah mengadakan kajian
Sistematika Wahyu selama 4 tahun bersama para mahasiswa di Ujung Pandang.
Tetapi, hampir semua pesertanya mengatakan, tidak tahu maksudnya. Sebagian
malah melecehkan pak Fuad Rumi sendiri.
Tetapi, lepas dari apakah itu bisa dipahami atau
tidak, memang diperlukan petunjuk praktis pelaksanaan sistematika wahyu.
Utamanya kajian. Karena, hal itu menyangkut kebutuhan banyak orang, dan
merupakan cara dakwah yang efektif.
Benar materinya. Karena, bersumber dari Yang Maha Al
Haq. Ada figur ideal yang dapat dijadikan teladan, satu pribadi dengan
multikompentensi. Sistematis dalam menerapkannya. Dan menghasilkan sumber daya
Qur’ani dalam sebuah komunitas. Juga sekaligus menjadi tuntunan, sebab kajian
pesantren ke luar memang berkisar pada pola ini.
Ustadz Abdurrahman Muhammad mengatakan, perlunya
menjadikan pola Sistematika Wahyu yang diwujudkan dalam mekanisme wahyu sistem
sebagai doktrin bagi semua warga Hidayatullah, namanya juga doktrin, maka
semuanya perlu mengerti, menerimanya sebagai acuan pola kehidupannya.
Sistematika Wahyu Sebagai Doktrin
Ustadz Abdurrahman Muhammad yang menyaksikan secara
langsung proses menuju kelahiran sistematika wahyu sangat yakin, itulah konsep
yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat yang sudah jatuh, tertimpa tangga
pula.
Umat yang tergerus stamina (energi) ruhaninya. Beliau
melihat proses adanya ‘bergua hiro’ sejak tahun 60-an yang dilakukan oleh Bapak
Pimpinan di Sulsel hingga hijrah ke Balikpapan. Ia juga melihat konsistensi
yang terus dipegang dan dipertahankan hingga meninggal, yaitu shalat lail.
Dalam hal ini, beliau tidak memiliki keraguan sama
sekali, bahkan sekalipun pernah dihukum secara produktif dengan dibuang ke
Jayapura. Peristiwa itu dipandang sebagai proses berwahyu, Bahkan, disana pula
beliau menemukan banyak hal baru.
Ditinjau dari urut-urutan prosesnya, sistematika
wahyu juga pas secara aqli dan naqli. Bertolak dari aqidah, baru syariah.
Dari individu menuju sosial. Tidak mungkin dibalik. Urutan turunnya wahyu, atas
bimbingan Allah. Bukan karangan Rasulullah. Benar, kontennya. Dan benar pula
momentum penerapannya. Antara kebenaran materi dan kearifan dalam penerapannya,
saling beririsan.
Dari penghayatan surat Al ‘Alaq diperoleh keyakinan
yang kuat akan kekuasaan Allah tanpa pensiun. Lantas dengan surah Al Qalam
seseorang dididik untuk meluruskan cita-cita. Bahkan, demikian melangit
cita-cita itu, bukan hanya dalam skup negara, tetapi dunia dan seisinya.
Cita-cita orang beriman adalah menegakkan kalimat
Allah Ta’ala di muka bumi ini. Ini pekerjaan besar dan luar
biasa yang tidak ada batasnya. Sementara, secara pribadi kemampuan untuk
mensukseskan misi mulia itu, tidak ada. Dan, tidak mungkin manusia mampu
melakukannya sendirian, tanpa bantuan dan keterlibatan Allah.
Karena itulah dibutuhkan kedekatan hubungan dengan
sumber kekuatan, yaitu Allah Ta’ala, yang disyaratkan dalam surah
Al Muzzammil. Urut-urutan itu sangat pas dirasakan, dan memang pada saatnya
memproses seseorang untuk untuk terus berkembang.
Sungguh, tahapan dari ma’rifat, khithah, tazkiyah,
dakwah, Al Fatihah, imamah dan jamaah, adalah proses kenaikan grafik ruhani
terus-menerus (‘amaliyyatus shu’ud al mustamir). Proses kesadaran
terus-menerus (‘amaliyyatul yaqzhoh al mustamirroh). Dan proses
kebangkitan terus menerus (‘amaliyyatun nahdhoh al mustamirroh).
Hal itu dikuatkan oleh Ustadz Abdul Qadir Jailani,
bahwa sentuan Al ‘Alaq letaknya pada iman. Manusia disentuh untuk beriman
terlebih dahulu. Ini tepat sekali, sebab apa gunanya orang pandai, berharta,
berkuasa, kalau tidak beriman.
Senjata ditangan orang tidak beriman hanya akan
mendatangkan bencana. Dan memang, iman itu yang menjadi titik awal bobot/nilai
seseorang. Jadi, iman itulah yang memproses setiap orang untuk terus
berkembang.
Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah,
sujudlah, dan tunduklah kepada Tuhan kalian, lakukanlah semua kebajikan,
niscaya kelak kalian di akhirat akan beruntung (QS. Al Hajj (22) :
77).
Orang yang tidak beriman, sekalipun memiliki
kemampuan teknologi tinggi seperti kaum Tsamud, membuat bukit menjadi
perumahan, dengan postur tubuh 60 hasta (1 hasta = 75 cm), besok di akhirat
timbangan dirinya lebih ringan dari sayap seekor nyamuk (QS. Al Kahfi (18) :
105).
Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam
perkembangan itu, adalah bekal dan persyaratan (standar) pribadi dalam surah Al
Muzzammil. Terutama shalat lail. Kata Ustadz Qadir Jailani, saya malu, kalau ada orang
Hidayatullah, shalat lailnya kalah dengan pihak luar. Apalagi, sampai shalat
lailnya, lubang-lubang. Padahal, ia menambahkan, bila al-Muzzamil tidak beres
(kocar-kacir), akan terasa ketidakberesannya jika menuju fase Al Muddatsir.
Umat yang didakwahi, tidak connect.
Mereka merasakan apa yang kita sampaikan terasa hambar. Tidak merasuk ke dalam
lubuk hati yang paling dalam. Islam yang didakwakan menjadi kehilangan
spiritnya.
Ustadz Abdurrahman Muhammad menambahkan, sistematika
wahyu dan wahyu sistem adalah dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Satu
paket. Bagaikan sayap seekor burung. Jika, salah satunya patah, burung tidak
bisa terbang tinggi.
Wahyu sistem adalah metode pengenjawantahan
sistematika wahyu, yang diartikan sebagai penyandaran segala gerak perjuangan
kepada kehendak Allah. Allahlah yang memberikan ide, inspirasi, dan manusia
tinggal melaksanakan saja dengan dukungan manajemen dan profesionalisme. Jadi,
sosok yang sudah masuk dalam dirinya nilai-nilai wahyu. Dia siap diperjalankan
oleh Allah Ta’ala. Organisasi hanyalah operator aktor peradaban
wahyu.
Mekanisme seperti itulah yang disarankannya menjadi
doktrin secara total, full time (tajarrud) di lembaga ini.
Itulah cara untuk memberikan standarisasi personel lembaga, yang tidak bisa
diganggu gugat. Standar moral, spiritual, kompentensi, kinerja di lapangan,
dll. Standarisasi yang utuh. Tidak parsial (sepenggal-sepenggal).
Konsep mengikuti langkah Rasul dalam membawa islam
itu, disepakati menjadi cara satu-satunya membawa kejayaan islam. “Tak mungkin
tanpa itu, memperjuangkan islam secara benar,” kata Ustadz Manshur Salbu.
“Secara fiqih, tetap islam, tetapi dengan
meninggalkan konsep itu, tak mungkin akan berhasil memenangkan Islam dalam
kancah perjuangan,” tambah Ir. Abdul Aziz Qahhar.
Adapun tentang pemahaman akan konsep ini, Ustadz
Abdul Rahman Surabaya mensyaratkan adanya proses iqra’ dalam
makna yang luas, sebagaimana menjadi perintah pertama surah al-Alaq.
“Ini adalah persoalan yang sangat prinsip (landasan
berpikir dan bertindak), karena menyangkut hidup dan mati. Karena itu sekadar taqlid (mengekor)
dalam hal begini adalah dilarang. Perlu ditempuh proses pemahaman hingga
tercapai pengertian dengan penuh keikhlasan. Sebab tanpa ketulusan, ya bohong
saja mutu imanya.”
Peragaan Sistematika Wahyu
Memahami sistematika wahyu memang harus dengan
proses. Dan, proses itu bisa membutuhkan waktu amat panjang. Repotnya lagi,
pemahaman secara benar baru bisa dilakukan setelah proses itu sendiri berjalan.
Prinsip utama dalam memahami ini adalah hijrah dalam arti sebenar-benarnya.
Fisik (makani), dan non-fisik (maknawi). Hajara dan
haajara. Fisik dalam bentuk meniggalkan ‘tanah air’-nya dengan niat berjuang
dijalan-Nya, dan non-fisik diwujudkan dengan pemutusan terhadap segala bentuk
ideologi lain.
Pengalaman di Ujung Pandang sempat dicatat oleh Ir.
Abdul Aziz Qahar, bahwa mereka yang begitu masuk lantas putus hubungan dengan
organisasi lamanya, dan dengan kawan lamanya, berproses lebih cepat.
Tetapi, mereka yang masih aktif dengan diskusinya,
bahkan masih memiliki peran di sana, lambat sekali proses keislamannya. Seperti
jalan di tempat. Terseok-seok.. Sebagian diantaranya malah putus di tengah
jalan. Padahal dalam diskusi mereka itu disimpulkan pula hal-hal yang senada
dengan apa yang digeluti di Pesantren. Tentang imamah-jamaah, mereka paham. Al
Quran dan As Sunnah juga menjadi pegangan. Tetapi soal proses, ternyata tidak
bisa mereka lakukan. Itu karena sikap hijrah yang masih setengah-setengah.
Oleh karena itu dapat disimpulkan, dalam mewujudkan
hijrah secara totalitas diperlukan fase eksklusif dan isolasi total dari
lingkungan sosial, sekalipun muamalah yang lain, selain interaksi ideologis,
masih berjalan dengan normal.
Warga dikonsentrasikan penuh hanya dalam urusan
perjuangan. Informasi dari luar ditutup, dengan secara sadar. Buku-buku bacaan,
selain Al Quran dan Al Hadits, distop. Siapa yang bisa menghafalkan matan
(materi) keduanya, akan dibukakan berbagai disiplin ilmu (man hafizhol mutun
faazal funun), meminjam istilah Ibnu Taimiyah. Koran tidak perlu dibaca.
Sepertinya otoriter, tetapi ini sangat diperlukan untuk menyamakan persepsi.
Toh, itu tidak berjalan selamanya. Sampai warga memiliki manna’ah
imaniyah (imunitas keimanan).
Hal senada disarankan oleh Ustadz Suwardhany Sukarno.
Malah lebih ekstrim lagi dikatakannya, semua budaya sekuler harus ditinggalkan
dulu. Baik sekuler subyektif (kegiatan sehari-hari), maupun sekuler obyektif
(institusi), agar bisa berjalan selaras dengan sistematika wahyu.
Lebur dengan konsep wahyu, atau tinggalkan sama
sekali. Supaya kita mudah menyikapinya. Sebab, pasti akan terjadi benturan
keras. Dan, menuntut harus ada yang dikalahkan. Bila hukmuljahiliyah,
zhannul jahiliyah, hamiyyatul jahiliyah, tabarrujul jahiliyah, masih
dipertahankan, menjadi penghalang masuknya wahyu. Gagallah proses ber-wahyu
sistem.
Mekanisme Wahyu Sistem
Mekanisme yang dituntut, menurut Ustadz Abdurrahman
Muhammad, adalah bersifat instruktif dan mengikat (mulzim). Jadi,
pimpinan harus menginstruksikan kepada makmum. Sementara, makmum dituntut siap
untuk menerima instruksi.
Mekanisme seperti ini, tidak akan berjalan jika tidak
ada kepercayaan (ats tsiqah). Tanpa, kepercayaan secara
timbal-balik, tidak akan terwujud kerjasama yang harmonis.
Kesiapan ini menyangkut dalam hal apa saja, dengan
resiko bagaimanapun. Karenanya, perlu ada dulu kesadaran dalam hal ketaatan.
Perlu dipahami, karena nasib keislaman makmum telah diserahkan sepenuhnya
kepada imam, ditandai dengan konsensus sejak awal bergabungnya disini.
Maka, imam perlu ditempatkan pada maqom dimana tidak
ada sama sekali kekhawatiran bahwa instruksinya tidak akan dijalankan, atau
jalan tapi diiringi rasa dongkol.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ir. Abdul Aziz
Qohar, bahwa tanggungjawab imamlah yang mentazkiyah makmumnya. Menjadi makmum,
memang rawan gangguan. Mereka punya peluang besar untuk berprestasi, dan memang
itu yang dituntut.
Dan, prestasi akan mendatangkan rasa thagha (sikap
melampaui batas). Sementara, sebagai sesuatu yang manusiawi, thagha dalam
hal begini sulit dihindari. Maklumlah, bila sekali-sekali muncul. Tetapi,
segera setelah itu harus dinetralisir oleh imam dengan proses tazkiyah.
Jika tidak, keimanan menjadi tercerabut.
Jadi, keterkaitan antara imam dan makmum memang
sangat erat dengan mekanisme ini. Apalagi, sebagaimana disampaikan di awal,
berwahyu sistem mutlak membutuhkan komando. Maka, kian tidak dipisahkan lagi
gerak bersama imam dan makmum.
Tentang Ketaatan
Ini merupakan faktor sangat penting dalam operasional
wahyu sistem. Imam perlu sampai pada keyakinan bahwa makmum benar-benar taat
kepadanya. Sebelum itu, pekerjaan mendasar dalam skala besar belum akan bisa
berjalan.
Ustadz Abdul Rahman dari Surabaya menyatakan,
ketaatan yang dilandasi oleh kesadaran akan berjalan dengan begitu indah. Tidak
ada paksaan di sana, karena memang Allah juga tidak pernah mengajarkan kepada
hamba-Nya untuk memaksakan keyakinan. Jadi mendidikkan kesadaran itu yang
paling penting. Kata beliau, ini merupakan pekerjaan mendasar, karena berkait
langsung dengan faktor manusia.
Pekerjaan menggarap manusia itulah yang dikatakannya
merupakan kunci penyelesaian dari segala macam problem internal. Bila mekanisme
sudah berjalan karena faktor manusia telah beres, pekerjaan bagaimanapun
besarnya tidak perlu menjadi kekhawatiran.
Dan, yang akan menjadikannya indah lagi, karena
ketaatan yang dilandasi kesadaran ini akan menghasilkan makmum yang aktif, yang
kreatif, produktif, dan mandiri. Bagaimana tidak, yang ada dalam benaknya
hanyalah bagaimana bisa menyelesaikan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.
Mereka menerima perintah dengan kesadaran bahwa Allah
ada di belakang perintah itu, sehingga pertanggungjawaban sekaligus adalah ke
hadapan Allah. Jadi tidak bisa tidak, mereka dituntut kreatif dan produktif.
Sementara itu ketaatan yang tidak dilandasi kesadaran
akan tanggung jawab itu justru hanya melahirkan manusia yang pasif.
Kreatifitasnya kurang karena memang tidak ada inisiatif. Dalam kondisi begini,
lembaga menanggung beban berat untuk melanjutkan langkah memikul beban lebih
besar, karena faktor internal belum selesai. Kehadiran seseorang disini bagian
dari masalah, bukan bagian dari solusi.
“Tetapi dengan kesadaranpun, taat itu bukan persoalan
mudah. Buerat. Wallahi!” kata Al-Hajj Abdul Mannan dengan gaya
kocak meskipun bukan bermaksud mengurangi nilai yang disampaikannya.
Beliau lantas memberikan contoh dari jaman Nabi. Ali
suatu saat ditanya oleh Rasulullah, “Ali, jam berapa kamu bangun sholat lail?”
“Terserah Allah,” jawab Ali. Kontan muka Rasulullah merah. Menantunya sendiri,
orang yang termasuk paling awal masuk Islam, juga termasuk keponakannya,
ternyata belum bisa taat sepenuhnya.
Bukan hanya itu, Ali juga terlambat berbai’at kepada
Abu Bakar sepeninggal Rasul. Lantas ada pertentangan juga antara Umar dan Abu
Bakar yang menyebabkan turunnya surah Al-Hujurat. Istri-istri Nabi
pernah memprotes gara-gara menganggap Rasulullah tidak adil.
Umar bahkan sampai pada kesangsian apakah Muhammad
benar-benar Nabi, pada perjanjian Hudaibiyah. Puncaknya, para sahabat pernah
menolak seratus persen perintah Nabi untuk ber-tahallul, sampai Rasul
sendiri melakukannya, baru kemudian mereka melakukannya satu per satu.
Jadi memang taat itu bukan urusan gampang. Ini urusan
keyakinan iman. Terlalu banyak hal yang menjadi penghalangnya. Karena itu perlu
disyukuri, kondisi pribadi yang telah sampai pada posisi siap diapakan saja.
Ustadz Manshur Salbu menyatakan sambil senyum-senyum, “Saya bersyukur, bahwa
saya sudah bisa dengan penuh kesadaran siap dimarahi terus-terusan.”
Pasalnya, katanya, itu juga yang dialaminya selama
ini. Tapi bukan hanya itu. “Saya sekarang ini siap saja, lengkap dengan
rombongan dan rombengan saya, untuk diapakan saja. Suruh lurus, lurus. Belok
sedikit, belok. Sudahlah apa saja siap.”
Ketaatan tingkat tinggi ini merupakan salah satu
syarat berjalannya proses komando. Ir. Abdul Aziz Qahar menambahkan,
idealnya, ketaatan itu sampai pada keadaan, imam tidak punya kesulitan sama
sekali mengatur makmum, karena faktor makmum itu sendiri. Jadi, selain ada
ketaatan terhadap segala bentuk komando, baik yang disuka maupun tidak disuka,
juga perlu ada kesiapan secara pribadi untuk menangani tugas itu. Itu pula yang ditekankan Ustadz Abdul Rahman
Surabaya, sebagai terwujudnya makmum yang produktif dan mandiri. Sebab,
bagaimana bisa sampai pada kesimpulan ‘berani’ memberikan tugas, bila yang
harus mengemban tugas itu sendiri tidak layak. “Bisa-bisa malah menambah dosa
makmum, karena dinilai ketaatannya berkurang,” katanya pada kesempatan yang
lain.
Menumbuhkan kesadaran akan ketaatan, bisa dilakukan
dengan memupuk rasa kepercayaan terhadap pemberi komando. Percaya bahwa apa
yang diinstruksikan merupakan sesuatu yang tidak main-main, sesuatu yang sudah
dipertimbangkan dengan masak berdasar lintasan ide yang berada dalam bimbingan
Allah. Bila kepercayaan ini hilang, maka ketaatan akan menumpul. Komando tidak
jalan. Karenanya kedua pihak perlu terus intropeksi, baik
yang memberikan komando maupun yang dikomando. Sebab tumbuhnya kepercayaan
tidak bisa hanya sepihak, tetapi harus kedua-duanya. Satu pihak memang layak
dipercaya, pihak lain menyadari kedudukannya sesuai dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Faktor Lain
Pelaksanaan sistematika wahyu bisa saja gagal. Atau
istilah yang lebih halus, tidak berjalan dengan sukses. Almarhum Abdullah Said
menyarankan, bila menemui banyak hambatan, cobalah untuk mengintropeksi, apa
yang telah terjadi selama ini. Mungkin karena terlalu banyak dosa, berani
melanggar syariah. Biar dosa kecil, bagi seorang mujahid bernilai besar. Atau
telah muncul kebanggaan-kebanggaan diri karena keberhasilan, sampai-sampai
meremehkan jalan komando. Atau mulai bergeser tempat bergantungnya, bukan
semata Allah Ta’ala.
Tentang yang terakhir ini ada banyak referensi
disampaikan. Biasanya karena petugas merasa mendapatkan kemudahan dari
fasilitas yang disediakan seseorang di daerah masing-masing, sampai-sampai
terjebak pada sikap menggantungkan nasibnya kepada fasilitas itu. Tidak
diragukan, Allah akan segera menegur hal yang demikian.
Ustadz Abdul Madjid Aziz mengingatkan, jangan sampai
kemudahan-kemudahan yang bersifat duniawi itu mengebiri keyakinan kepada Allah.
“Ini sangat berbahaya,” katanya. Mengapa? Karena akan menghapus semua nilai
perjuangan yang telah dirintis. Selain mungkin hal-hal di atas, beberapa
analisa barangkali bisa dijadikan rujukan:
- Faktor keyakinan
Tetapi satu hal yang patut dicermati, Rasulullah saat
itu masih memiliki rasa sedih. Buktinya, pada saat khadijah meninggal, beliau
kesusahan, beliau tak bisa menyembunyikan kekecewaan dan kegundahannya. Apalagi
berangkai dengan meninggalnya Abu Thalib, bertambahlah kekabungan Nabi,
sampai-sampai tahun itu disebut sebagai ‘amul khuzni. Tahun duka
cita’.
Lantas Nabi dimi’rajkan. Beberapa saat kemudian mulai
diperintahkan berhijrah. Suatu perubahan besar terjadi. Nabi, pada masa
selanjutnya, seperti sudah tidak punya rasa khawatir. “Terserah Engkau, ya
Allah, mana jurang yang harus kuterjuni, mana gunung yang harus kudaki!” begitu
sikapnya menghadapi segala tantangan.
Artinya, segala sesuatu toh terjadi di bawah
kendali kehendak Allah, jadi tidak ada alasan untuk bersedih hati. Dengan
kata lain, telah terjadi peningkatan keyakinan pada diri beliau, yang juga
menentukan keberhasilan perjuangan.
- Faktor niat
Momen-momen silaturrahim seperti ini, menurut Pak
Suwardhani merupakan kesempatan yang baik untuk memperbaiki niat. “Kita ini
semakin kaya. Kendaraan banyak. Uang di bank banyak. Itu semua menjadi
pendorong yang sangat potensial untuk membuat kita lupa diri.”
Ustadz Usman Palese menambahkan, bukan hanya untuk
memperbaiki niat, bahkan silaturrahim seperti ini juga saat yang paling pas
untuk meluruskan kembali shaff. Yang ketinggalan hendaknya
terpancing untuk maju, yang terlalu cepat segera menyadari urgensinya
berjama’ah. “Memang berat, hidup berjama’ah tetapi itu persyaratan, dan jadi
indah dirasakan,” katanya.
- Faktor Ibadah
Memang, pada kondisi masih sulit, ibadah biasanya
gencar. Tetapi setelah mulai berhasil, ibadah menurun, setidaknya dari segi
kualitas. Alasannya sibuk, hal-hal begini perlu segera diwaspadai.
- Obyek dan Subyek
Syarat untuk sukses, obyek menggantungkan
aktivitasnya kepada subyek. Sekali lepas, gagal. Untuk tetap bisa bergantung
secara proporsional, perlu kesiapan obyek secara fisik maupun mental, untuk
diproses dengan wahyu. Sebab namanya saja sudah obyek, tentu mengikuti apa
kemauan subyek.
________________________________________________________________________________
USTADZ SHOLEH HASYIM,
Penulis
adalah anggota Dewan Syura Hidayatullah. Artikel ini disarikan dari rangkaian
diskusi Tajdidul Manhaj, digabung dengan amanah Bapak Pimpinan Abdullah
Said(almarhum) pada acara Silatgab Ponpes Hidayatullah Korwil Sumatra,
Jabotabek, Jawa-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya. (Surabaya,
18-26 Juni 1994/8-16 Muharram 1415).
_________________________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar