Salah satu nikmat terbesar dalam puasa adalah berbuka puasa bersama saudara yang lainnya
TINGGAL menghitung hari lagi umat Islam akan kedatangan tamu agung, bulan suci Ramadhan. Ia adalah bulan yang penuh rahmat, sarat imbalan, bonus pahala berlipat ganda. Siapa pun akan tertarik dengan hadiah-hadiah Ramadhan.Bayangkan, ibadah sunnah pada bulan-bulan biasa diganjari dengan pahala wajib pada bulan ini. Ibadah wajib dibalas tujuh puluh kali lipat.
Belum lagi berbicara tentang
malam Lailatul Qadar. Beribadah pada malam ini lebih baik dari seribu bulan,
alias lebih kurang 83 tahun. Adakah bonus yang lebih besar dari bonus Ramadhan?
Jadi, cukup logis jika Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi Wasalam menyadarkan kita dalam salah satu sabdanya bahwa
sekiranya umatnya mengetahui apa yang terkandung dalam bulan Ramadhan, pasti
mereka akan mendambakan tahun itu seluruhnya Ramadhan.
Itulah sebabnya kemudian diantara
nama bulan Ramadhan adalah Syahrut Tarbiyah atau sebagai bulan
pendidikan yang berfungsi secara holistik dan dipandu secara langsung oleh
Allah Ta’ala. Definisi pendidikan yang
khas, padat, dan bernas, yang belum pernah kita temukan dalam
dunia pendidikan pada umumnya adalah batasan yang dirumuskan oleh salah
seorang tokoh dunia Islam Syaikh Muhammad Qutub dalam salah karya
spektakulernya “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah” Nadhariyyah (teori) wa
Tathbiqan (praktek) I,II.
Yakni, dalam pandangan Qutub,
pendidikan khas itu adalah “fannu shina-ati/tasykilil insan atau seni
memformat manusia baik dari sisi intelektualitas, perasaan, spiritual,
pisiknya, menuju batas kematangan kepribadiannya secara sinergis. Jadi,
kegiatan pendidikan tidak sekedar transfer ilmu, tetapi transfer nilai
sekaligus.
Ada tiga komponen fundamental
yang menentukan keberhasilan sebuah pendidikan. Yaitu standar input, proses dan
output. Jika salah satu unsur dari ketiganya kurang ideal, maka mustahil
melahirkan output yang diharapkan pula. Dan, puasa Ramadhan memadukan ketiga
dimensi tersebut secara sinergis. Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah (2) : 183).
Ayat di atas tampak tergambar
ketiga unsur penting (khoshois wa muqawwamat) pendidikan yang ideal itu yaitu:
input (sumber daya mukmin), proses (shiyam dan qiyam pada bulan
Ramadhan), dan output (sumber daya muttaqin).
Pada tahap input yakni
ketersediaan sumber daya mukmin dalam rangka memasuki madrasah Ramadhan, maka
setiap muslim hendaknya memahami dan menginternalisasi keyakaninan iman dan
Islam. Kita akan dibahas berikut ini.
Iman Islam
Iman dan Islam, percaya dan
berserah diri, adalah dua kalimat yang tidak bisa dipisah-pisahkan untuk
selama-lamanya. Percaya saja belum cukup, padahal tidak berserah diri. Dan menyerahkan
diri tidak akan sempurna tanpa didasari oleh keyakinan. Bukti bahwa kita percaya
kepada-Nya, tentulah kita turuti perintah-Nya. Dan kita mengikuti perintah
karena percaya. Kesimpulan dari keduanya, kepercayaan dan ketundukan terhadap
syariat, itulah agama yang benar (dinul haq). Mengakui secara lisan sebagai
seorang mukmin, tetapi tidak mengikuti perintah-Nya belumlah dikatakan mukmin.
Dan mereka berkata, kami
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kami taat. Kemudian itu berpalinglah
satu golongan dari mereka dan mereka berpaling itu tidaklah orang yang beriman (an-Nur
(24) : 47).
Perpaduan yang tidak mungkin
dipisah-pisahkan antara kepercayaan dan penyerahan, akidah dan ibadah,
pengakuan hati dan perbuatan, itulah agama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Maka dibuatlah definisi (batasan) bahwa agama Islam adalah agama yang
diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan malaikat
Jibril termaktub dalam Al-Quran dan ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah SAW.
Islam adalah celupan Allah bagi
yang berakal sehat untuk kemaslahatan kehidupan dunia dan keselamatan tempat
kembalinya. Sunnah adalah perjalanan, jalan raya lurus yang akan ditempuh, yang
telah didahului oleh Nabi SAW dan kita ikuti jejaknya dari belakang. Atau
tradisi Rasulullah SAW.
Jika kita renungkan dengan logika
yang sehat, ada orang yang mengaku percaya, tetapi enggan melakukan perintah,
tidak menjalankan isi Al-Quran, atau tidak mengikuti sunnah (ittiba’ur rasul),
bukanlah disebut mukmin dan muslim. Kepercayaan seharusnya mengantarkan diri
untuk tidak keberatan melakukan perintah dan menjauhi larangan.
Ada sebagian orang yang
berpandangan, asal hatiku sudah percaya dan budi pekertiku dengan sesama sudah
baik, beribadat dan beramal tidak diperlukan. Memahami pernyataan tadi
bertambah jelas bahwa iman dan islam belum muncul di relung hati yang paling
dalam. Sebab, islam tidak semata-mata kepercayaan dan pengakuan di mulut. Menjadi orang Kristen, Yahudi,
Majusi pun adalah hati yang baik. Tetapi agama itu memiliki caranya sendiri
(syariat). Kalau mengaku berhati baik, tetapi keberatan mengerjakan perintah
agama, tandanya hati yang dimilikinya tidak baik.
Ada pula yang mengatakan,
beribadat kepada Allah SWT bukanlah shalat dan puasa saja. Yang penting
menolong sesama manusia, berjuang menegakkan cita-cita Islam. Sudah cukup
menjadi seorang muslim. Alangkah ganjilnya pandangan itu!
Itu menggambarkan bahwa ia hanya
mengenal Islam di kulitnya saja. Anda hendak berjuang, menegakkan cita-cita
Islam, dalam masyarakat, dalam negara, ekonomi, politik, dan sosial kebudayaan,
tetapi melalaikan shalat. Hal itu menunjukkan rumah Islam yang akan kita bangun
berdiri di atas pondasi yang rapuh. Rumah baru akan berdiri tegak dimulai dari
sendinya.
Rasulullah SAW bersabda: “Shalat itu adalah tiang agama.
Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia merobohkan agama”
Jika kita mengaku beriman kepada
Allah SWT, tentu kita mencintai-Nya, kita rela berkorban menuruti kehendak-Nya.
Kecintaan yang tidak melahirkan pengorbanan, namanya cinta palsu. Beriman, yang
tidak dibarengi dengan cinta dan kesiapan berkorban, berarti iman palsu, islam
palsu. Seperti ungkapan ahli sastra Arab berikut: Engkau mendurhakai perintah
Allah padahal secara lahiriyah menyatakan cinta. Di dalam alam ini mustahil, di
alam ini pun ganjil. Kalau cinta nan tulus, niscaya perintah-Nya engkau taati.
Sebab orang yang cinta kepada yang dicintainya selalu patuh dan tunduk
kepadanya.
Tidak ada dikotomi antara Iman
dan Islam. Kaitan antara Iman dan Islam adalah hubungan diantara budi dan
perangai. Dalam peraturan budi, suatu budi yang tinggi hendaklah dilatih secara
terus-menerus (riyadhah, mujahadah) supaya menjadi karakter dan kebiasaan.
Seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, percaya kepada para
Rasul Allah, niscaya mendorongnya melakukan perbuatan yang diridhai oleh-Nya.
Karakteristik Orang Beriman
Berikut dijelaskan ciri-ciri
khusus orang-orang yang beriman.
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman [sempurna imannya] ialah mereka yang bila disebut nama Allah
[sifat-sifat yang memuliakan-Nya] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia (QS. Al Anfal (8) : 2-3).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas menafsirkan ayat itu dengan : Tidak ada sedikit pun
keringanan kepada Allah di dalam hati orang munafik ketika mengerjakan
berbagai kewajiban. Secara lahiriyah khusyu’, hatinya ingkar kepada Allah SWT.
Mereka tidak beriman sedikit pun terhadap ayat-ayat Allah, tidak bertawakal
kepada-Nya, tidak mendirikan shalat pada saat tidak diketahui orang lain, tidak
menunaikan zakat atas harta yang dimilikinya.
Sesungguhnya orang-orang
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya
[mencari pujian manusia] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah
mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali [sekali-kali shalat ketika di
hadapan manusia]. [QS. An Nisa (4) : 142].
Sedangkan orang beriman jika
disebut nama Allah, hatinya gemetar. Yakni kaget dan takut lalu mereka
mendirikan aneka kewajiban dari Allah SWT. Menjalankan segala perintah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Tanpa pamrih, tanpa pura-pura. Hanya
mengharapkan ridha Allah SWT. Inilah sifat mukmin sejati.
Kemudian, jika dibacakan
ayat-ayat Allah keimanan mereka mengalami grafik kenaikan. Semakin meyakini dan
membenarkan ayat-ayat-Nya. Al Bukhari dan imam lainnya menjadikan ayat ini dan
ayat yang lain yang sejenis sebagai dalil (hujjah) yang menunjukkan
bertambahnya dan kelebihannya di dalam hati.
Dia-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS.
Al Fath (48) : 4).
Dan kepada Allah SWT orang-orang
beriman bertawakal. Mereka tidak mengharapkan selain Dia, tidak menuju kecuali
kepada Dia, tidak berlindung kecuali kepada sisi-Nya, tidak meminta kebutuhan
kecuali kepada-Nya, dan tidak mencintai kecuali kepada-Nya.
Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa
mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. mereka Itulah orang-orang yang
akan mewarisi (QS. Al Mukminun (23) : 1-10).
Energi Iman
Hanya orang beriman yang menjadi
sasaran taklif (beban) berpuasa Ramadhan. Karena hanya orang beriman yang
tergerak hatinya, memiliki responsibilitas dalam menyambut seruan-Nya.
Sedangkan orang munafiq memandang
panggilan-Nya seperti suara sayup-sayup nun jauh disana. Keyakinan orang
beriman dibuktikan dengan anggota tubuh. Ia taat kepada Allah SWT secara lahir
dan batin. Tanpa sedikitpun ada rasa keberatan.
Iman adalah sumber energi jiwa
yang senantiasa memberikan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya untuk
bergerak memberi, menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam taman
kehidupan, atau bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di
permukaan bumi.
Iman adalah gelora yang
mengalirkan inspirasi kepada akal pikiran, maka lahirlah bashirah (mata hati).
Sebuah pandangan yang dilandasi oleh kesempurnaan ilmu dan keutuhan keyakinan.
Iman adalah cahaya yang menerangi
dan melapangkan jiwa kita, maka lahirlah taqwa. Sikap mental tawadhu (rendah
hati), wara’ (membatasi konsumsi dari yang halal), qona’ah (puas dengan karunia
Allah), yaqin (kepercayaan yang penuh atas kehidupan abadi).
Iman adalah bekal yang menjalar
di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah harakah. Sebuah gerakan yang
terpimpin untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, keadilan atas kezaliman,
kekauatan jiwa atas kelemahan. Iman menentramkan perasaan, mempertajam emosi,
menguatkan tekat dan menggerakkan raga.
Iman mengubah individu menjadi
baik, dan kebaikan individu menjalar dalam kehidupan masyarakat, maka
masyarakat menjadi erat, dekat dan akrab. Yang kaya di antara mereka menjadi
dermawan, yang miskin menjadi ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga
diri), yang berkuasa menjadi adil.
Dengan iman yang ulama menjadi
takwa, yang kuat menjadi penyayang, yang pintar menjadi rendah hati, yang bodoh
menjadi pembelajar, yang memiliki kedudukan tinggi bisa dijadikan tempat bernanung
bagi yang rendah. Ibadah mereka menjadi sumber kekuatan dan kemudahan, kesenian
menjadi sumber inspirasi dan spirit kehidupan.
Syekh Muhammad Al Ghazali berkata
dalam bukunya Khuluqul Muslim, beliau menulis: Apabila iman telah
menyatu jiwa, hanya Allah yang paling berkuasa, segala yang maujud ini hanya
makhluq belaka (mumkinul wujud). Keyakinan yang kuat dan tumbuh berkembang
dengan subur, laksana mata air yang tidak pernah kering sumbernya, yang
memberikan dorongan kepada pemiliknya semangat pengabdian, ibadat secara
terus-menerus, mampu memikul tanggngjawab dan menanggulangi kesulitan dan
bahaya yang dihadapinya. Pengabdian itu dilakukan tak mengenal lelah sampai
menemui ajal tanpa ada rasa takut dan cemas.
Orang mukmin yang sejati
mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia
terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas, perbuatannya itu ia
sembunyikan dan tidak dipertontonkan di hadapan orang banyak. Ia masih memiliki
rasa malu jika aibnya diketahui dan ditiru orang banyak.
Seorang mukmin berani menegakkan
kebenaran sekalipun rasanya pahit. Untuk memenuhi perintah Allah, tidak untuk
memperoleh maksud duniawi yang rendah dan untuk tujuan jangka pendek dan
kenikmatan sesaat (mata’uddunya). Ia jika ia membiarkan kebatilan mendominasi
kehidupan, maka imannya terjangkiti virus kelemahan. Seorang mukmin teguh
pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar dari amukan badai dan
hempasan gelombang serta pasang surut lautan.
Wahai pemuda, aku akan mengajarkan
kepadamu beberapa kalimat sebagai berikut : “Peliharalah (perintah) Allah, maka
Allah akan memelihara engkau, dan peliharalah (larangan) Allah, niscaya engkau
dapati Allah dihadapanmu. Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah dan
apabila kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan Allah. Ketahuilah
olehmu, sekiranya ummat manusia sepakat hendak memberi manfaat kepadamu,
niscaya tak akan sanpai sesuatu juapun daripadanya melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah lebih dahulu. Demikian juga sekiranya mereka itu sepakat pula
hendak membahayakan kamu, tak akan sampai bahaya itu melainkan menurut apa yang
telah ditetapkan Allah terlebih dahulu. Terangkan kalam, dan keringlah kertas(HR.
Turmudzi).
Kilas Balik
Kata Nabi Muhammad Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam, komunitas mereka laksana taman yang menghiasi kehidupan.
Di huni oleh para ulama yang mengamalkan ilmunya. Para umara yang mengelola
kekuasaanya dengan keadilan. Para pebisnis yang berniaga dengan kejujuran.
Masyarakat bawah di zamannya rajin
beribadah. Dan para kaum profesional yang bekerja dengan taat aturan. Iman yang
mengubah manusia fatalis, konsumtif, menjadi sosok yang produktif, kreatif,
inovatif dan dinamis.
Dan barangsiapa yang mentaati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[teguh
kepercayaannya kepada kebenaran nubuwwah], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya (QS. An Nisa (4) :
69).
Dengan iman yang terpatri di
dalam hati nurani, Bilal bin Rabah mampu bertahan di bawah tekanan batu karang
raksasa dengan terik matahari padang pasir yang membakar tubuh hitam kelamnya.
Ia sukses membunuh majikannya dalam peristiwa perang Badar. Ia yang semula
seorang budak bisa berubah menjadi manusia besar.
Abu Bakar yang lembut, selalu
meneteskan air mata setiapkali menjadi imam shalat, menjadi sangat keras dan
tegar melebihi ketegasan Umar bin Khathab ketika memerangi kaum murtaddin
(keluar dari islam dan menolak syariat zakat). Umar bin Khathab yang terhormat,
dengan sukarela membawa gandum ke rumah seorang perempuan miskin di kegelapan
malam.
Khalid bin Al Walid, si pedang
terhunus, menyukai malam-malam dingin dalam jihad fii sabilillah daripada
seorang cantik di malam pengantin. Ali bin Abi Thalib bersedia memakai selimut
Rasulullah saw dan tidur di kasur beliau ketika dikepung para algojo menjelang
hijrah, atau menghadiri pengadilan saat beliau menjadi khalifah untuk
diperkarakan dengan seorang warganya yang Yahudi tulen.
Utsman bin Affan dengan senang
hati membeli sumur “Raumah” milik Yahudi dengan harga dua kali lipat untuk
mengatasi krisis air yang menimpa kaum muslimin Madinah. Ia menginfakkan
seluruh hartanya pada medan peperangan yang dikenal sulit (jaisyul usrah),
perang Tabuk.
Sejarah islam sepanjang lima
belas abad ini mencatat, kaum muslimin meraih kemenangan-kemenangan dalam
berbagai peperangan, mewujudkan kemakmuran dan keadilan, mengembangkan berbagai
cabang ilmu pengetahuan dalam peradaban. Ketika iman mewarnai seluruh aspek
kepribadian setiap individu muslim. Memperkuat stamina ruhaniyah, mencerdaskan
akal dan menggerakkan pisik mereka.
Tetapi sejarah juga menorehkan
luka. Pasukan Tartar membantai 80.000 orang kaum muslimin di Baghdad, pasukan
Salib menguasai Al Quds selama satu abad kurang sepuluh tahun, surga Andalus
(Spanyol) hilang dari genggaman kaum muslimin dan direbut kembali kaum Salib,
Khilafah Utsmaniyah di Turki dihancurkan gerakan Zionisme Internasional.
Pertanyaannya, apakah penyebab
kehancuran itu semua ?. Karena krisis iman (azmatul iman). Saat dimana iman
hanya sebagai slogan, dan tidak merasuk di dalam jiwa dan pikiran, tidak
memberi vitalitas dan dinamika dalam kehidupan, lalu tenggelam dalam lumpur
syahwat. Gila tahta, harta dan wanita. Terjangkiti virus syubhat (salah paham
terhadap kebenaran) dan ghoflah (lalai dari misi kehidupan).
Karena itulah penguasa dan para
umara menjadi zhalim dan diktator (thughyan), orang kaya menjadi pelit, orang
miskin menjadi pengkhianat, orang bodoh menjadi tidak tahu diri (sombong), dan
tentara mereka tidak memiliki nyali. Dan kalangan bawah kurang asah, asuh dan
asih serta kurang ajar.
Nabi saw melukiskan kondisi
komunitas yang tegak tidak dilandasi oleh iman akan diisi oleh ulama yang
dengki, umara yang zhalim, para kaum awam beribadah karena riya’, pengusaha
yang berkhianat dan kaum professional yang tidak patuh hukum.
Sehingga kehidupan mereka seperti
berdiam di hutan (al ghabah). Hukum yang diberlakukan laksana huku rimba.
Tumpul untuk kalangan elit dan tajam umtuk level grassroot. Sehingga melukai
rasa keadilan. Hukum bisa ditarik kesana kemari sesuai dengan selera zaman.
Madrasah Ramadhan
Dari segi etimologis makna
‘Ramadhan’ adalah terik panas yang membakar. Karena pada umumnya tibanya bulan
ke sembilan bulan Qamariyah ini pada musim panas.
Makna tersebut mengandung
pelajaran berharga, bahwa lewat puasa Ramadhan menjadi hangus terbakar
dosa-dosa dan kelemahan serta sisi gelap diri kita. Sedangkan sisi terang diri
kita mengemuka.
Disamping itu puasa adalah junnah
(perisai). Yang bisa memagari pelakunya dari tekanan internal diri, tarikan
eksternal, media untuk melawan ketergesa-gesaan, menikmati penderitaan,
menghalau tantangan dan berbagai kesulitan, menunda kenikmatan sesaat menuju
kepuasan batin, menguatkan azam, mensucikan maksud, dan mengangkat martabat.
Dengan perisai tersebut, semoga
Allah SWT melindungi kita dari berbagai madharat, memagari kita dari maksiat,
dan menjaga kita dari gangguan yang bersumber dari mukmin yang dengki, tipu
daya orang kafir, munafiq yang membenci, hawa nafsu yang menggelincirkan dan
syetan yang menyesatkan.
Insya Allah dengan mengendalikan
nafsu lewat pelaksanaan ibadah puasa selama sehari penuh, kita menjadi manusia
baru. Sikap mental yang memiliki kemiripan dengan ulat yang serakah, dan tidak
memiliki rasa malu, dengan berpuasa Ramadhan menjadi manusia yang bermental
seperti kupu-kupu. Penampilannya menyejukkan dalam pergaulan dengan
sekelilingnya. Sungguh puasa Ramadhan merupakan training untuk memformat diri
menjadi manusia baru.
Rasulullah bersabda: “Perumpamaan
seorang mukmin itu laksana lebah. Apabila ia makan, ia makan barang yang baik.
Dipilihnya makanan yang halal. Dipilihnya bungan yang indah dan harum tempat
untuk hinggap. Dan apabila ia mengeluarkan sesuatu dari badannya, yang
dikeluarkannya berupa barang yang baik, madu manis dan segar, bisa menjadi obat
bagi manusia. Dan apbila ia hinggap, sekalipun di sebuah ranting yang
lapuk, maka sedikitpun tidak rusak” (al Hadits).
Output Sumber Daya Muttaqin
Bertakwa adalah menjalankan semua
perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya dengan penuh
kesadaran dan kesabaran. Takut bermaksiat kepada Allah Swt melebihi
ketakutannya menghadapi musuh. Karena kemenangan yang diperoleh kaum muslimin
karena dosa-dosa yang dilakukan oleh musuh.
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah
kalian mati kecuali dalam keadaan tunduk (muslim)” (QS. Ali Imran (3)
: 102).
Jika kita juga senang melakukan
dosa sebagaimana mereka, maka kita akan kalah. Karena, dilihat dari ikhtiar
lahiriyan, mereka jauh lebih unggul dan matang.
Takwa adalah sebaik-baik bekal
yang sangat diperlukan individu dan jamaah kaum muslimin. Sesungguhnya
perjuangan untuk iqamatud din (menegakkan syariat) tidak akan memperoleh
pertolongan Allah Ta’aala tanpa taqwa.
Betapa banyak orang yang beramal,
berjuang, berkorban, tetapi amal mereka dikembalikan (tidak diterima) karena
dorongan dari dalam tidak dari takwa. Takwa adalah syarat untuk sukses di dunia
dan tercapainya sasaran yang dituju. Mari kita dengarkan ucapan Musa as kepada
kaumnya yang dikisahkan dalam Al-Quran.
Mohonlah pertolongan kepada Allah
dan bersabarlah, sesungguhnya bumi ini milik Allah, Dia mewariskannya kepada
orang yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya. Dan akibat yang baik itu adalah
bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-A’raf (7) : 128).
Ibnu Katsir berkata : Barangsiapa
bertakwa kepada Allah dengan mengamalkan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya, akan terbimbing untuk mengetahui kebenaran dan
kebatilan. Itu merupakan kunci pembuka kemenangan, keselamatan, dan jalan
keluar baginya dalam menghadapi urusan-urusan dunia, kunci kebahagiaan pada
hari kiamat, dan sebab dihapusakannya segala dosa-dosanya.
Takwa adalah solusi untuk
mengatasi setiap kelemahan, ketertinggalan, dan kehinaan yang sedang mendera
ummat Islam. Ia adalah satu faktor yang apabila kita pegang teguh, pangkal
datangnya pertolongan dan taufik akan dimudahkan bagi kita dan segala faktor
yang menyebabkan kekalahan dan kehinaan akan dijauhkan.
Takwa menuntun kita untuk
komitmen dengan kebenaran, kebajikan, kesucian, dan menjadikan kita mencintai,
menuruti, memperjuangkan, dan melaksanakannya semata-mata mencari ridho Allah
Ta’aala. Ia memelihara kita dari penyimpangan dan yang menjamin kemenangan bagi
kita atas musuh yang memiliki kekuatan jauh lebih hebat serta harta, jumlah,
dan perlengkapan yang melebihi kita.
Takwa Lahirkan Multiple
Intelligences
Untuk memperbaiki dan
mendongkrak mutu ketakwaan kita, alangkah baiknya kita berhenti sejenak untuk
mencermati arahan Allah Ta’aala tentang ciri yang menonjol
pada struktur kepribadian orang yang bertakwa pada ayat berikut ini.
Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran (3) : 133-135).
Bertolak dari ayat di atas,
setidak-tidaknya orang yang bertakwa itu memiliki ciri yang menonjol yakni
tumbuhnya multi kecerdasan (multiple intelligences). Pertama,
memiliki kecerdasan finansial. Kedua,memiliki kecerdasan emosional. Ketiga,
cerdas sosial. Keempat, memiliki kecerdasan spiritual. Kelima,memiliki
kecerdasan intelektual.
Kecerdasan Finansial
Orang bertakwa yang memiliki
kecerdasan finansial itu tidak sekedar pandai mencari uang, atau sekedar
terampil membuka gembok-gembok rizki. Tetapi, gemar pula berinfak untuk
membersihkan dan melipat gandakan harta itu sendiri. Jadi kaya itu berkaitan
dengan sikap mental.
Rasulullah SAW telah memberikan
definisi yang jelas tentang orang yang mempunyai kecerdasan finansial.
Yang disebut al-ghina (orang
yang cerdas finansial) itu bukanlah mereka yang sekedar memiliki harta yang
banyak, tetapi al-ghina itu mereka yang kaya jiwa (HR. Bukhari).
Bukan disebut cerdas finansial
orang yang memiliki harta yang banyak tetapi serakah dan kikir. Apa gunanya
memiliki banyak kekayaan tetapi tidak dibelanjakan. Sebagaimana air yang tidak
dialirkan, harta yang ditumpuk akan menjadi sarang penyakit. Seharusnya berapa
pun yang diinfakkan tidak masalah jika fii sabilillah. Pantang
dibelanjakan satu rupiah pun untuk maksiat.
Harta bagi orang yang terjangkiti
virus ruhani kikir adalah segala-galanya. Semakin banyak yang ia terima, ia
semakin rakus. Bagaikan meminum air laut, semakin banyak meminumnya semakin
haus. Ia mengira harta itu mengekalkan kehidupannya. Ia memandang harta
sebagai hak milik, bukan hak pakai atau hak guna (titipan dari Allah SWT).
Bahkan, pada akhirnya harta dijadikan tandingan tuhan.
Akan datang sesudahmu kaum
yang memakan kemewahan dunia dengan segala ragamnya, yang mengendarai kendaraan
yang bagus dengan segala ragamnya dan menikahi wanita-wanita cantik dengan
segala ragamnya, memakai pakaian yang seindah-indahnya dengan segala ragamnya.
Mereka mempunyai perut yang tidak kenyang dengan yang sedikit, dan nafsu yang
tidak puas dengan yang banyak. Mereka menudukkan diri kepada dunia, pagi dan
sore harinya mengejar dunia. Mereka menjadikan dunia sebagai tuhan dan pengatur
mereka. Mereka mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya. Mereka adalah sejelek-jeleknya
umatku (HR. Thabrani dalam Al-Kabir).
Bila dunia sudah dibesarkan, maka
bukan saja Allah SWT – yang tampak kecil – menjadi kecil, melainkan
kebenaran yang tampak jelas pun menjadi tidak kelihatan. Bukan buta mata kita,
tetapi hati kita yang buta. Kita menjadi acuh tak acuh kepada penderitaan orang
lain.
Tidak termasuk cerdas finansial
orang yang kaya raya tetapi serakah. Sekalipun kaya secara lahiriyah tetapi
jiwanya miskin. Sekalipun kaya, tapi masih menginginkan harta orang lain dengan
menghalalkan segala cara. Sekalipun hartanya banyak, tetapi tidak cukup.
Dengan harta yang cukup kita
dapat memelihara harga diri kita dari meminta-minta, dan kita bisa menolong
orang lain. Dengan harta yang cukup kita dapat makan dan minum yang halal dan
thayib, bisa bersedekah dan bisa beribadah haji. Kita bisa makan kenyang
(mangan wareg), tidur pulas (turu anteng), menutup aurat (sandang rapet),
tempat tinggal yang mapan (papan mapan), hidup tenang (urip kepenak).
Rasulullah SAW bersabda: Wahai
Amru alangkah bagusnya harta yang baik di tangan orang yang shalih (HR.
Ahmad).
Arahan Rasulullah SAW diatas
mengingatkan kaum muslimin untuk cerdas secara finansial, yakni mereka dapat
menguasai harta berbanding lurus dengan ketrampilan dalam
membelanjakannya sebaik-baiknya untuk meninggikan kalimat Allah Ta’aala.
Harta dimanfaatkan untuk membantu
orang-orang yang memerlukannya. Harta yang cukup memadai untuk mengurai
kerumitan sosial dan harta yang cukup untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
Kecerdasan Emosional
Ciri kedua orang yang bertakwa
adalah “wal kaadziminal ghaidza” (orang-orang yang dapat
menahan diri ketika marah). Kalau boleh mengambil istilah sekarang dikenal
dengan kecerdasan emosional. Jika ia marah, maka dipusatkan pada kedipan mata.
Anggota tubuh yang lain tidak diizinkan untuk bergerak. Kemudian berwudhu dan
shalat dua rokaat. Jadi kekuatan mental tidak diukur pada kekuatan pisik,
tetapi dapat mengendalikan marah.
Berpuluh-puluh tahun yang lalu,
orang hanya mengenal satu jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual atau
dikenal dengan IQ. Pada saat itu, keberhasilan dan keberuntungan orang diukur
oleh seberapa tinggi IQ nya. Semakin tinggi IQ yang dimilikinya kemungkinan
berhasilnya sangat besar. Itulah sebabnya semua lembaga pendidikan, instansi pemerintah,
lembaga bisnis, melakukan tes IQ dalam rekruitmen siswa, pegawai dan karyawan.
Dengan perguliran dan pergiliran
masa dan setelah melalui serangkaian penelitian menunjukkan bahwa IQ
bukan segala-galanya. Bahkan IQ merujuk penelitian tersebut hanya menyumbang
15% saja tingkat keberhasilan seseorang. Yang mengejutkan justru EQ (Emotional
Quotient) lah yang menjadi faktor penentu, sekitar 60% sampai 85% penentu
kesuksesan.
Ternyata faktor kesabaran,
keuletan, kegigihan, disiplin, dan tidak mudah emosi merupakan kunci
keberhasilan manusia dalam membangun kesuksesan hidup. Betapa banyak orang yang
pintar, yang nilai akademisnya di atas rata-rata, tapi kehidupannya gagal.
Keberadaanya tidak memberikan manfaat kepada orang lain.
Empat belas yang silam Al-Quran
dan As Sunnah telah mengenalkan sosok-sosok yang memiliki kecerdasan
emosional yang mapan sepertti Nabi Yusuf Alaihissalaam, Rasulullah
SAW dan para rasul ulul ‘azmi lainnya.
Adapun diantara sahabat yang
memiliki kecerdasan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah pertempuran,
Ali bin Abi Thalib terlibat duel dengan salah satu jawara kaum musyrik. Ia
berhasil menjatuhkan lawannya. Ketika ia akan membunuhnya, sang musuh meludahi
Ali dan mengenai seluruh wajahnya. Atas peristiwa itu Ali mengurungkan niatnya
dan berlalu meninggalkannya (tidak jadi membunuh lawannya yang sudah tidak
berdaya itu).
Orang musyrik itu memandang aneh
sikap Ali. Ia bertanya, Hendak kemanakah engkau wahai ahlul bait (keluarga
Rasulullah SAW) ? Ali menjawab, Mulanya aku berperang karena Allah, namun
ketika engkau melakukan apa yang engkau lakukan terhadap diriku (meludahiku),
aku sangat khawatir membunuhmu hanya didorong oleh hawa nafsu (sebagai balas
dendam dan pelampiasan kemarahanku). Jadi, aku sekarang membebaskanmu karena ingin
meraih ridha Allah SWT.
Orang itu pun berkata, Seharusnya
kelakuanku lebih memancing dan menyulut kemarahanmu hingga engkau segera
membunuhku. Jika, agama yang kalian anut sangat mengajarkan toleransi
(tasamuh), maka sudah pastilah agama yang lurus dan benar. Dengan demikian, aku
menyatakan diri untuk masuk Islam.
Dari sekelumit kisah di atas kita
bisa mengambil ibrah (pelajaran di balik sebuah peristiwa) dan ‘ubur (jembatan
menuju sukses). Yaitu me-manage (mengelola) emosi. Inilah musuh
kita yang berat kita lawan, kerena abstrak (tidak tampak). Kita melawan dan
memusuhi diri kita sendiri.
Dalam posisi apa pun kita sangat
memerlukan kecerdasan emosional ini. Sebagai suami kita harus pandai
memimpin istri dan anak-anak. Keberadaannya menjadi sumber kebahagiaan dan
ketenteraman keluarga.
Kita dituntut untuk sabar, mau
mendengar keluhan, empati terhadap orang lain, menghargai, memberi apresiasi,
mau meminta maaf dan mudah memaafkan. Karena tidak mudah memaafkan sama dengan
mengumpulkan kejelekan. Mau memberi maaf identik dengan mengumpulkan poin
kemenangan. Serta tidak pelit untuk mengucapkan terima kasih atas keberhasilan
orang lain.
Kecerdasan Sosial
Ciri ketiga orang yang bertakwa
adalah memiliki kecerdasan sosial, ”wal ‘afina ‘anin-nas” (mudah
memaafkan orang lain). Tidak mudah hidup bermasyarakat. Ada seribu satu masalah
yang menyertai kehidupan bersama.
Karena manusia bukanlah kumpulan
malaikat. Disamping memiliki kelebihan juga mempunyai banyak kelemahan. Di
dalamnya tidak jarang terjadi fitnah, beredar gosip, gunjingan, ghibah, namimah
dan adu domba.
Orang yang memiliki kecerdasan
sosial tidak lari dari keadaan ini dan memilih hidup menyendiri(‘uzlah).
Menjauhi keramaian. Justru dinamika yang terjadi di pandang sebagai romantika
yang memperindah panorama kehidupan.
Orang yang memiliki kecerdasan
sosial dapat menampung segala karakter manusia. Ia berjiwa permadani. Tidak
berjiwa kerdil. Ia menyadari bahwa karakter kehidupan manusia di dunia adalah
fluktuatif, mengalami pasang surut.
Rasulullah SAW bersabda: Seorang
mukmin yang bergaul dan sabar atas terhadap gangguan orang, lebih besar
pahalanya dari orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam
menghadapi gangguan mereka (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Senjata utama agar sukses bergaul
adalah salamatush shadr (dada selamat dari jengkel kepada yang
lain), dan al Itsar (mendahulukan orang lain melebihi dari
dirinya), serta mudah memaafkan. Dengan memaafkan hati menjadi tenang, dan
ibadah menjadi khusyu’.
Sebaliknya, orang yang sulit
memaafkan orang lain, dadanya menjadi sempit, hatinya dipenuhi rasa dendam, dan
pikirannya diliputi keinginan untuk membalas. Ada sesal, marah, dendam,
kecewa, dan sakit hati, menggumpal menjadi penyakit jiwa yang tidak ada
obatnya. Jika ini dibiarkan maka energi positif pada diri manusia akan habis.
Memaafkan merupakan cara yang
paling manjur untuk membebaskan manusia dari berbagai penyakit kejiwaan. Orang
yang mudah memaafkan mentalnya sehat, pikirannya positif, hatinya lapang.
Tentu, akan terbuka pula karunia dan rizki dari Allah Ta’aala.
Mari kita membuka pintu maaf
seluas-luasnya untuk anak, istri, tetangga, teman sekantor, kerabat dekat dan
kerabat jauh, mitra dan rival kita, seraya kita doakan agar kebaikan,
keberuntungan, kesuksesan, kemuliaan, menyertai kehidupan mereka.
Kecerdasan Spiritual
Terakhir, orang bertakwa memiliki
kecerdasan spiritual, wa idza fa’alu fahisyatan aw zhalamu anfusahum
dzakarullah, fastaghfaru li dzunubihim. Yakni, apabila berbuat kesalahan
atau menganiaya diri sendiri. Mereka segera mengingat Allah SWT dan mohon
ampun.
Tidak ada dosa kecil yang
dilakukan secara terus-menerus dan tidak ada dosa yang disusul langsung dengan
mohon ampun kepada Allah SWT dengan penuh penyesalan (laa shaghirota
ma’a ishrar wa laa kabirata ma’a istighfar). Konsekwensinya setelah itu
akan naik garifik keimanannya. Karena ia sudah sadar dan minta dihapus
kesalahannya. Suatu yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah sadar.
Betapa banyak manusia hari ini
yang tidak memiliki kesadaran yang baik. Pemimpin tidak menyadari bahwa dirinya
memikul amanah. Rakyat tidak menyadari bahwa dirinya harus taat pada pemimpin.
Suami tidak sadar tugas dan tanggungjawabnya. Istri yang tidak sadar posisinya.
Guru yang tidak sadar akan kedudukannya. Dan murid yang tidak sadar akan
fungsinya.
Orang yang memiliki kecerdasan
spiritual selalu merasa dimonitor oleh Allah SWT. Orang bertakwa memahami
bahwa dalam lintasan perasaan dan kesadaran yang paling dalam bahwa dirinya
meyakini secara utuh bahwa Allah SWT selalu menyertai detik-detik kehidupannya (ma’iyyatullah),
mengawasi(muraqabatullah), memparhatikannya (ihsan), dan
selalu memberikan karunia kepadanya(ihsanullah).
(Yaitu Tuhan) yang telah
menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku, dan Tuhanku, yang Dia memberi
Makan dan minum kepadaKu, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,
dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (QS.
Asy Sy’ara (26) : 78-81).
Kecerdasan Intelektual
Orang yang ‘alim dan
bertakwa, maka cerdas lisan dan pikirannya serta hatinya. Sedangkan orang ‘alim
yang tidak bertakwa, hanya cerdas otaknya, lisannya, tetapi hatinya gelap
dan sempit serta terjangkiti penyakit ruhani, serakah, sombong dan dengki.
Ketiganya adalah induk perbuatan
dosa manusia sepanjang sejarah. Akan terhalang untuk memperoleh hidayah dan
taufiq dari-Nya. Sedangkan orang yang bodoh, tetapi bertakwa maka otaknya
sekalipun tidak cerdas, lisannya juga kurang lancar, tetapi hatinya cerdas dan
steril dari penyakit ruhani.
Dengan hati yang bersih,
sesungguhnya akan terbuka pikirannya. Insya Allah. Maka akan terbuka pula
pintu-pintu ilmu dan karunia dari-Nya.
Dengan modal takwa seseorang akan
mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Suatu ilmu yang mengantarkan pemiliknya
bertambah dekat dengan Allah SWT. Inilah ilmu yang membela pemiliknya pada
Mahkamah Ilahi (hujjatun lahu).
Sedangkan ilmu yang tidak
bermanfaat akan menggugat pemiliknya di akhirat (hujjatun ‘alaihi).
Jadi, ada ilmu yang menjadi wasilah kedekatan kepada Allah SWT (wasilatut
taqarrub ilaihi) dan ada ilmu yang menjadi media untuk menjauhkan
dirinya dari Allah SWT (wasilatut taba’ud ‘anillah).
Barangsiapa yang
bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah
kecuali dia akan makin jauh dari Allah SWT (HR. Dailami).
Orang-orang yang paling pedih
siksanya di hari Kiamat adalah orang ‘alim yang Allah tidak memberinya manfaat
dengan ilmunya (HR. Thabrani).
Jadi dalam pemahaman yang merujuk
referensi Islam (mafhumul Islam), iman dan ilmu adalah satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ilmuan yang benar menurut Islam adalah
ilmuan yang berhasil menyeimbangkan kehidupan di dunia dan akhirat, memadukan
ilmu dan iman, teori dan praktek, doa dan ikhtiar, jasmani dan ruhani, otak dan
batin, pikir dan zikir, kecerdasan intlektual, kecerdasan finansial,
kecerdasan, emosional, kecerdasan sosial, secara sinergis.
Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir (38) : 28).
Yang dimaksud dengan ulama dalam
ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Sadar
akan keterbatasn dirinya dan sadar akan keluasan ilmu-Nya. Sehingga bertambah
ilmu yang dimilikinya, ia semakin berisi (tawadhu’). Matang
kepribadiannya.
Tawadhu artinya kaya
berpenampilan sederhana, pejabat berpenampilan rakyat jelata, pandai
berpenampilan bodoh. Kemudian lahir pencerahan baru dalam struktur ruhaninya
bahwa yang diciptakan oleh Allah SWT di dunia ini tidak sia-sia.
Logikanya, jika hamba selalu
dekat dengan Allah SWT maka akan dekat pula dengan pertolongan, rahmat dan
maghfirah-Nya. Sebaliknya, hamba yang jauh dari Allah SWT maka akan jauh pula
dari rahmat, taufiq, hidayah, dan maghfirah-Nya. Ketika Adam taat dan berada di
surga, Allah mendekat kepadanya. Ketika ia melanggar dengan makan buah khuldi,
Allah SWT menjauhinya.
Sebuah penelitian medis baru-baru
ini mengungkapkan adanya serangkaian perubahan dalam tubuh manusia selama ia
dalam keadaan berdoa (shalat) atau meditasi. Menurut penelitian tersebut,
perubahan pertama yang tampak adalah adanya integrasi pikiran sepenuhnya dengan
alam semesta setelah lima puluh detik memulai doa (shalat) atau meditasi.
Karena, ketika shalat seluruh indra lahir dan indra batin tunduk secara
bersamaan kepada Allah SWT.
Studi yang dilakukan oleh
Ramchandran, seorang peneliti Amerika, bersama-sama dengan sekelompok peneliti
lainnya menunjukkan bahwa laju pernapasan dan konsumsi oksigen dalam tubuh
manusia berkurang selama doa (shalat) dalam kisaran antara 20 dan 30%, di
samping resistensi kulit meningkat dan darah tinggi lebih membeku.
Hasil penelitian tersebut
melaporkan bahwa sebuah gambar yang ditangkap melalui CT scan menunjukkan
adanya aktivitas kerja otak yang sangat menakjubkan selama seseorang itu berdoa
(shalat). Tercatat bahwa gambar otak seseorang dalam keadaan berdoa (shalat)
atau meditasi berbeda dengan gambar(otak) dalam keadaan normal. Aktivitas
sel-sel saraf di otak telah berkurang dan terdapat warna mengkilap yang muncul
di radiologi.
Ramchandran menegaskan bahwa
hasil gambar ini merupakan bukti ilmiah mengenai apa yang yang disebut
“spiritual transenden” dan kehadiran agama di dalam otak, yang membawa dampak
terhadap seluruh anggota, seperti otot, mata, sendi dan keseimbangan
organ-organ tubuh.
Ia juga menambahkan bahwa semua
anggota tubuh mengirim sinyal ke otak selama seseorang berdo’a (shalat) atau
meditasi, hal inilah yang menyebabkan aktivitas otak meningkat, sehingga otak
kehilangan kontak dengan tubuh sepenuhnya hanya menjadi pikiran murni dan
menarik diri dari alam dunia ke dunia lain.
Pada gilirannya, penelitian
tersebut merupakan upaya yang signifikan dari para ilmuwan untuk mengungkap
batas hambatan antara manusia dan rahasia otak. Penelitian ini mendapat
apresiasi kepuasan dari sebuah penerbitan sains di AS. Penelitian ini penting
untuk menjelaskan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Yang perlu diperhatikan bahwa hal
ini benar-benar membantah hasil studi dan penelitian William James, seorang
pelopor psikologi agama, sebelumnya tentang misteri agama dalam otak yang
menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah dua dunia yang sama sekali
berbeda.
Bahkan, dengan angkuh William
James mengatakan dua dimensi yang kontradiktif itu mustahil dapat dipertemukan
untuk selama-lamanya. Dan, hari ini, kerancauan berfikir William James itu
terbantahkan.
Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu
cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hadid (57) : 14).
Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil
menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia
adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. di dunia mereka sedikit sekali tidur
diwaktu malam. dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian [tidak minta-minta karena ingin memelihara
diri]. (QS. Adz Dzariyat (51) : 15-19).
_________________________________________________________________________________
USTADZ SHOLIH HASYIM,
Penulis
adalah anggota Dewan Syura PP Hidayatullah. Saat ini sebagai pembina di Pondok
Pesantren Hidayatullah Kudus, Jawa Tengah.
_________________________________________________________________________________
Di Copy Paste Dari www.hidayatullah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar