Allahu Yarham KH. Abdullah Said Pendiri Hidayatullah
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Pendiri Hidayatullah
Oleh Admin
Pendahuluan
Abdullah Said adalah salah satu
dari sekian tokoh Islam yang telah menggurat sejarah di dunia da’wah
khususnya di Indonesia. Beliau bukanlah orang yang hanya kagum mmembaca sejarah
apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya serta kecemerlangan
pejuang-pejuang Islam di belakangnya. Tetapi beliau benar-benar telah melakukan
sesuatu yang pantas dicatat oleh sejarah.
Abdullah Said telah melakukan
gerakan da’wah yang sangat luarbiasa dan telah mencetak sekian ratus kader yang
tersebar hampir diseluruh pelosok pedalaman tanah air. Melihat besarnya jasa
beliau dalam kerja da’wah ini, maka penulis mencoba mengebolarasi pemikiran
besar beliau tentang da’wah. Walaupun penulis menyadari sangat tidak mungkin
menyajikan secara utuh pemikiran dann gerakan-gerakan da’wah beliau, karena
keterbatasan referensi yang penulis miliki. Tetapi mudah-mudahan yang singkat
ini memberi manfaat bagi kita yang ingin mengikuti jejak kerja keras beliau
dalam mengemban misi da’wah.
Riwayat Hidup Abdullah Said
1. Kelahiran dan Keluarganya
Nama kecil Ustadz Abdullah Said
adalah Muhsin Kahar. Lahir tepat pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Jum’at,
17 Agustus 1945, di Lamatti Rilau (Panreng), salah satu desa wilayah Kecamatan
Sinjai Utara Kabupaten Sinjai sekitar 227 km dari Makassar ibu kota Profinsi
Sulawesi Selatan.
Sejak masih dalam kandungan
Abdullah Said sudah jadi perbincangan keluarga dan masyarakat di kampungnya,
sebab usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun belum lahir juga,
bahkan ada pandangan miring bahwa yang dikandung itu bukan manusia tetapi buaya
atau entah apa.[1]
Ayah Abdullah Said bernama Abdul
Kahar Syuaib, seorang ulama kharismatik dan menjabat sebagai imam kampung
Lamatti. Dikalangan masyarakaat beliau lebih popular dengan sebutan Puang
Imang[2].
Sedangkan Ibunya bernama Aisyah, yang lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica.
Ia merupakan istri terakhir yang dinikahi setelah istri pertama dan kedua
meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki :
Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’), Muhsin Kahar
(Puang Esseng) dan As’ad Kahar (Puang Sade’)[3]. Adapun dari istri
pertama Abdul Kahar Syuaib dikaruniai 2 orang anak dan istri yang kedua dikaruniai
6 orang anak. [4]
Setelah berumur 10 tahun Abdullah
Said pindah ke Makassar mengikuti Ayahnya. Di Makassar Abdullah Said beserta
keluarganya menjalani kehidupan yang memprihatinkan karena belum ada
penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2. Pendidikan
Pendidikan formal Abdullah Said
di mulai sejak ia masih di kampung kelahirannya dengan masuk Sekolah
Rakyat (SD), namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954. Karena
dia harus mengikuti Ayahnya pindah ke Makassar. Abdullah Said diterima di kelas
IV Sekolah Rakyat No. 30 Makassar, pendidikan disini dijalaninya hingga tahun
1958. Abdullah Said adalah anak yang cerdas, walaupun dia berasal dari kampung
yang sangat terbelakang tapi di kelas dia selalu menjadi bintang kelas. bahkan
ketika mengikuti ujian akhir SR, dia mendapatkan nilai tertinggi, yang
memungkinkannya untuk memilih sekolah favorit. Dan ternyata pilihannya adalah
sekolah agama yaitu Pendidikan Guru Agama Negri 6 Tahun (PGAN 6 tahun).
Abdullah Said memilih sekolah ini sebab selain sekolah agama dan unggulan, juga
memberikan tunjangan ikatan dinas (disingkat ID) setiap bulannya.
Lulus dari PGAN 6 Tahun
(1958-1964) juga dengan nilai tertinggi sehingga ia mendapatkan beasiswa untuk
kuliah ke IAIN Alaudin Makassar. Namun hanya satu tahun mengikuti kuliah, lalu
berhenti. Sebab dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat
selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosen telah dibacanya,
sehingga dia berkesimpulan bahwa waktu dan energy yang dikorbankan tidak
seimbang dengan hasil yang didapatnya.[5]
Adapun pendidikan yang diperoleh
Abdullah Said dengan jalur nonformal adalah pendidikan melalui bacaan, masjid,
pergaulan dan mendatangi para ulama.
Kegemaran membaca buku sudah
terlihat sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun Makassar. Hampir seluruh tunjangan
ID yang dia terima setiap bulan dimanfaatkan untuk membeli buku, setiap hari
libur tempat wisatanya adalah toko buku. Adapun buku-buku kegemarannya adalah
karya-karya Buya Hamka, K.H.M. Isa Anshary, A. Hasan, dan M. Natsir.
Sedangkan pendidikan melalui
masjid beliau terima ketika ayahnya sering mengajaknya aktif di masjid dan
mendatangi masjid-masjid dimana disitu diadakan pengajian rutin, seperti
mendatangi Masjid Raya Makassar setiap Magrib dan Subuh yang relative jauh dari
rumahnya. Melalui pergaulan, keaktifan di organisasi dan LSM serta
pertemanannya dengan aktivis dan tokoh-tokoh LSM juaga sangat berperan besar
dalam perkembangan pengetahuan dan pengalaman Abdullah Said. Di antara
tokoh-tokoh yang menjadi teman akrabnya adalah Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr.
Amien Rais, Adi Sasono dan lain-lain.
Setelah Abdullah Said berhenti
dari kuliah, beliau menekuni pendidikan yang dapat mengantarkan beliau menjadi
seorang ahli agama. Diantara ulama tempat beliau berguru adalah K.H. Abdul
Djabbar Asyiri, Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan pendiri
Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Makassar, yang membimbingnya
menghafal dan memahami hadits. Guru lainnya adalah Abdul Malik Ibrahim, mantan
Direktur PGAN Makassar membimbingnya belajar Bahasa Arab. Sedangkan gurunya
dalam memahami dan mengkaji al-Qur’an adalah K.H. Ahmad Marzuki Hasan, pendiri
Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa Maros.[6]
Selain berguru kepada ulama-ulama
yang ada di Makassar Abdullah Said juga belajar ke pulau Jawa, tujuan beliau adalah
Pondok Modern Gontor Ponorogo, tetapi beliau hanya belajar seminggu, untuk
kemudian pindah ke Pesantren Persis Bangil. Di sini Abdullah Said banyak
berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan (Putra A. Hasan) dan tidak jarang beliau
diminta menjadi khatib Jum’at serta ceramah di masjid-masjid Persis. Setelah
tiga bulan beliau pindah ke Jakarta dan kemudian kembali ke Makassar melakukan
pengkaderan du’at.[7]
3. Kiprah di Organisasi
1. Organisasi Pelajar
Ketika masih duduk di bangku PGAN
6 Tahun Makassar, Abdullah Said memilih organisasi Pelajar Islam Indonesia
(PII) sebagai wadah berkiprah. Sebab dia melihat PII memiliki militansi yang
kuat dalam memperjuangkan Islam dan sangat gigih menentang keberadaan PKI di
negeri ini.
2. Organisasi Pemuda
Organisasi pemuda yang digeluti
Abdullah Said adalah organisasi Pemuda Muhammadiyah. Abdullah Said menjadi
pengurus organisasi ini dari tingkat cabang hingga pengurus Wilayah Pemuda
Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara, periode 1966-1968. Dalam
kepengurusan ini Abdullah Said duduk sebagai ketua Biro Da’wah dan Publikasi.
Pada tahun 1967 beliau diutus mengikuti pengkaderan instruktur tingkat nasional
di Yogyakarta.
Selain aktif di Pemuda
Muhammadiyah, Abdullah said juga bergabung dalam organisasi pemuda-pelajar
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Sulawesi Selatan, serta
aktif dalam kepengurusan organisasi yang bersifat kedaerahan, yakni Himpunan
Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sinjai (HIPPMAS).[8]
3. Organisasi Politik
Dengan terbentuknya Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), yang didukung penuh ormas dan organisasi Islam
dengan harapan menjadi penjelmaan Masyumi yang dibubarkan Persiden Soekarno.
Abdullah Said tertarik melibatkan diri dalam Parmusi kota Makassar karena ingin
terlibat dalam mewujudkan cita-cita Masyumi.
Pada saat Kongres I Parmusi di
Malang, Abdullah Said menjadi salah satu peserta, dia sangat berharap agar
tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem,
Kasman Singodimejo dan lain-lain dapat duduk menjadi pengurus partai
sebagaimana informasi yang tersebar dikalangan keluarga besar Bulan Bintang.
Akan tetapi intervensi pemerintah
yang mengeliminasi keputusan kongres yang telah berhasil memutuskan Mohammad
Roem sebagai ketua umum membuat kecewa Abdullah Said hingga ia memutuskan untuk
tidak meneruskan kegiatannya di partai, dan kembali menggeluti dunianya semula
yaitu dunia da’wah.[9]
Gerakan Da’wah Abdullah Said
Aksi-aksi da’wah Abdullah Said
mulai terlihat saat beliau aktif diberbagai organisasi pelajar dan kepemudaan.
Sebab ketika bergabung ke suatu organisasi beliau selalu menempati bidang yang
disukai dan diminatinya yaitu bidang da’wah dan pengkaderan. Beberapa aksi
da’wah yang dilakukan Abdullah Said adalah:
- Ketika baru berusia 13 tahun, masih duduk di kelas I Pendidikan Guru Agama, beliau telah aktif mengisi khutbah jum’at di berbagai masjid di Makassar termasuk di Masjid Ta’mirul Masjid, ini adalah masjid terbesar kedua di kota Makassar saat itu setelah masjid Raya Makassar. Selain itu beliau juga aktif mengadakan kursus-kursus pidato untuk anak-anak seusianya.
- Aktif melakukan pengkaderan pemuda Muhammadiyah
diberbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Tenggara ketika beliau duduk
sebagai Ketua Biro Da’wah dan Publikasi Pemuda Muhammadiyah Sulselra
periode 1966-1968.
- Melakukan pengganyangan perjudian di kota Makassar,
tepatnya Rabu (malam), 27 Agustus 1969, Abdullah Said mengumpulkan dan
mengarahkan pemuda-pemuda Muhammadiyah untuk melakukan pengganyangan. Maka
Kamis malam (28 Agustus 1969), kader-kader yang telah digembleng Abdullah
Said di Maros dan pemuda-pemuda Muhammadiyah kota Makassar melakukan
penyerbuan dan mengobrak abrik tempat perjudian lotto[10]. Peristiwa
yang menghebohkan di Sulawesi Selatan ini membuat ruang tahanan Kodim 1408
Makassar penuh sesak. Banyak tokoh dan pemuda Muhammadiyah di tahan.
Sedangkan Abdullah Said atas saran pimpinan Muhammadiyah dan teman-teman
yang ditahan untuk tidak menyerahkan diri dan meninggalkan kota Makassar.
Selama 4 bulan Abdullah Said di kejar-kejar polisi hingga akhirnyaia harus
mengganti nama dari Muhsin Kahar menjadi Abdullah Said dan hijrah ke Balikpapan
Kalimantan Timur.
- Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said ketika
tiba di Balikpapan (Maret 1970) adalah mencari bibit kader, maka
dilakukanlah penggalangan anak muda, mereka dikumpulkan untuk dikader
beberapa bulan. Kemudian tahun 1971, Abdullah Said kembali mengadakan
Training Center (TC) Darul Arqam I, dan tahun 1972 TC Darul Arqam II. Dia
pun aktif membentuk dan mengisi pengajian rutin dibeberapa masjid di
Balikpapan (1970-1972)
- Memulai membuka pesantren. Ketika pengajian binaan
Abdullah Said mulai marak, beliau pun berfikir untuk mendirikan sebuah
pesantren sebagai pusat pengkaderan da’i.[11] Dalam
perjalanan pendirian pusat pengkaderan ini, terjadi beberapa kali
perpindahan lokasi pesantren :
Pertama, Sepulang dari
Jakarta yang memboyong beberapa anak muda sebagai tenaga pengajar,[12]kegiatan pesantren
untuk pertama kalinya dilakukan di rumah Muhammad Rasyid[13] di Gunung
Sari. Ditempat inilah berkunjung beberapa tokoh diantaranya, K.H. AR.
Fachruddin (Ketua PP Muhammadiyah), Mei 1973 hadir Buya Hamka, kemudian diakhir
tahun hadir Buya Abdul Malik Ahmad, disusul Prof. DR. Kahar Muzakkir.
Kedua, Pada hari
Sabtu, 1 Muharram 1394 H (26 Januari 1974), lokasi pesantren pindah kesebidang
tanah di daerah Karang Rejo, di daerah yang sangat sepi dan serba terbatas ini
didirikan dua buah gubung kecil sebagai tempat belajar. Selama satu tahun
kegiatan pengkaderan dilakukan ditempat ini.
Ketiga, Memulai
sejarah baru di Karang Bugis, dilokasi baru ini, para santri menempati sebuah
emperan rumah milik seorang penduduk sebagai tempat belajar. Setelah beberapa
lama, seorang tokoh masyarakat di Karang Bugis bernama H. Andi Kadir
Mappassosong mewakafkan tanah seluas 0,5 hektar. Di atas tersebut Abdullah Said
membuat perencanaan pembangunan mushalla, aula serba guna, asrama dan
tempat belajar.
Keempat, Membuka
Kampus Gunung Tembak (Maret 1976). Setelah di Karang Bugis dirasa semakin
sempit, karena banyaknya santri, maka Abdullah Said berfikir mendapatkan lokasi
yang memungkinkan untuk mengembangan, baik fisik maupun kegiatan. Maka
disebarlah beberapa santri ke segala penjuru Balikpapan, pencarian berlangsung
berhari-hari, hingga akhirnya ditemukanlah loksi di Gunung Tembak. Atas bantuan
Walikota Balikpapan, Letkol (Pol) H. Asnawie Arbain[14] maka pemilik
tanah seluas 5,4 Ha tersebut mewakafkannya kepada Pesantren Hidayatullah. Tepat
pukul 15.00 tanggal 3 Maret 1976 lokasi ini dimasuki oleh para santri, dan hari
Kamis, 5 Agustus 1976, atas saran dari Walikota Balikpapan pesantren
Hidayatullah diresmikan.
Peresmian dilakukan oleh Prof.
Dr. Mukti Ali (Mentri Agama RI), didampingi oleh KH. Abdullah Syafi’i (Ketua
MUI DKI Jakarta) beseta putrinya, Tuty Alawiyah. Sejak itulah pesantren
Hidayatullah semakin ramai, santri terus bertambah terutama kedatangan
santri-santri dan teman-teman Abdullah Said dari Sulawesi Selatan.
1. Mengirim Da’i ke Pedalaman
Pengkaderan yang intens dan terus
menerus telah berhasil menelorkan banyak da’i, yang kemudian disebar ke
daerah-daerah pedalaman yang jarang mendapat sentuhan wahyu. Abdullah Said
melakukan pengiriman da’i ke daerah pedalaman, untuk pertama kalinya dilaksanakan
pada pertengahan tahun 1975, mereka terdiri dari kader-kader yang masih belasan
tahun.
Dalam setiap pelepasan da’i ke
medan da’wah, Abdullah Said senantiasa menasehatkan kepada kadernya untuk
membahasakan perasaan mereka sendiri yaitu nikmatnya mendekatkan diri kepada
Allah SWT lewat pengabdian kepadaNya, menghindari permusuhan sesama kaum
muslimin, menyampaikan da’wah dengan bahasa yang bijak dan bersahabat, dan
tidak melewatkan satu malam pun tanpa melakukan shalat lail.[15]
Sampai tahun 2006 Hidayatullah
telah memiliki 30 DPW, 260 DPD dan hingga tahun 2007 Ormas Hidayatullah
telah mengirimkan sekitar 1000 du’at ke berbagai daerah pedalaman. Setidaknya
setiap tahun dikirim 150 du’at dengan 50 diantaranya merupakan lulusan Strata
Satu.[16]
Berbagai kisah da’i Hidayatullah
di daerah pedalam dapat ditemui dalam buku berjudul “Menjemput
Pertolongan Allah : kumpulan Kisah Penuh ‘Keajaiban’ Para da’i Hidayatullah
dalam Perjalanan Da’wahnya”. Dalam buku tersebut dikisahkan bagaimana
perjuangan da’i-da’i Hidayatullah di medan da’wah, yang sejak
keberangkatannya hanya dibekali ongkos untuk sampai tujuan yang kadang tidak
cukup.[17]
2. Penerbitan Majalah Islam
Menerbitkan media massa merupakan
satu obsesi besar Abdullah Said. Cita-cita dan harapan hadirnya sebuah media massa
milik Pondok Pesantren Hidayatullah terus diwacanakan. Beliau menjelaskan
berulang kali betapa urgennya kehadiran sebuah media bagi Hidayatullah, baik
media cetak maupun elektronika.
Menurut beliau yang paling
mendesak sekarang ini adalah media cetak karena termasuk media da’wah yang
sangat efektif. Dapat masuk langsung ke kamar-kamar, dapat dibaca sambil
baring, dapat menyampaikan pesan kapan dan dimana saja kepada pembacanya.[18]
Maka setelah melalui persiapan
yang panjang, pada 13 Mei 1982 nomor perdana Buletin Da’wah sebagai cikal bakal
Suara Hidayatullah mulai terbit. Buletin ini dicetak sebanyak 500 eksemplar.
Kemudian September 1986 terbit dalam bentuk majalah ukuran kecil setebal 88
halaman, tetapi mendapat teguran dari Departemen Penerangan (Deppen) karena
belum mengantongi Surat Tanda Terbit (STT). Setelha delapan bulan keluranya
izin penerbitan (STT) dari Deppen tahun 1986, majalah ‘Suara Hidayatullah”
terbit tepatnya pada tanggal 15 Oktober 1987.[19]
Pemikiran Da’wah
Abdullah Said
Pemikiran da’wah Abdullah Said
dapat ditelusuri dari karya tulis, ceramah dan berbagai aktivitas da’wah
beliau, sebagai mana yang telah disebutkan sebelumnya. Jika melihat pada
catatan-catatan beliau, memang tidak dijumpai tulisan yang secara khusus
membahas pandangan atau pemikiran da’wah beliau, ini dapat dimaklumi sebab
beliau memang manusia kerja, “Man of Action” seperti yang dikatakan Amien Rais
(Mantan MPR-RI, mantan ketua Umum Muhammadiyah), ketika dimintai komentarnya
terhadap pribadi Abdullah Said.[20]
Dari berbagai cacatan, ceramah
dan gerakan serta aktivitas da’wahnya, dapat diidentifikasi beberapa gagasan
sebagai pemikiran da’wah Abdullah Said sebagai berikut:
1. Totalitas dalam kerja
da’wah
Bagi Abdullah Said da’wah adalah
prioritas utama, dan itulah janji yang ditanamkan dalam hatinya saat masih
dalam kejaran polisi dan akan bertolak meninggalkan Sulawesi Selatan menuju
Balikpapan, bahwa : Dimanapun beliau berada nantinya, umurnya akan dihabiskan
untuk mengurus Islam.
Kita pun bisa melihat aktivitas
keseharian beliau sejak tiba di kota Balikpapan, waktunya dihabiskan untuk
hanya memikirkan dan menda’wahkan Islam. Itu pula yang senantiasa di
tekankan kepada santri-santrinya, keseriusan dan totalitas dalam kerja
da’wah, sehingga lahirlah mujahid-mujahid da’wah yang siap dikirim ke berbagai
pelosok daerah di negri ini, untuk mengemban tugas da’wah.
Beliau pernah mengatakan tentang
kerja da’wh ini bahwa: “Da’wah bukanlah pekerjaan ringan, karenanya Allah tidak
menitip amanah ini kepada sembarang orang. Setetes hidayah dari Allah, jauh
lebih berarti dari berjilid-jilid buku yang ditulis oleh seorang penulis paling
terkenal sekalipun.”[21]
2. Tentang
pengkaderan
Sejak umur 13 tahun Abdullah Said
sudah memikirkan akan pentingnya kader dalam kelanjutan da’wah ini, maka yang
senantiasa dilakukan oleh beliau adalah melakukan pengkaderan. ketika aktif di
organisasi Pelajar Islam Indonesia (PPI), Dia giat mengadakan kursus-kursus
pidato untuk anak-anak seusianya. Karena menurut beliau seorang da’i harus
memiliki keberanian untuk tampil di depan umum untuk menyampaikan pesan-pesan
Allah SWT dan RasulNya. Pengkaderan dan pelatihan muballigh, terus beliau
jalankan tanpa henti, hingga beliau wafat.[22]
Tingginya perhatian beliau
terhadap pengkaderan ini sehingga beliau terus berpikir untuk mencari metode
pengkaderan yang dapat melahirkan kader-kader yang tangguh, sebagaimana
pengkaderan yang dilakukan Rasulullah yang melahirkan kader-kader seperti, Abu
Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a, Ali r.a dan sahabat-sahabat lainnya. Maka dari
kajian dan diskusi yang beliau lakukan, melahirkan sebuah metode yang digunakan
dalam mendidik kader yang disebut “Sistematika Nuzulul Wahyu”.[23]
Terkait dengan pembinaan kader
ini, Abdullah Said menyatakan bahwa: kaderisasi adalah permasalahan serius yang
dighadapi oleh hampir setiap organisasi. Sehingga sering dikatakan, “sekarang
kita sedang mengalami krisis kader”.
Abdullah Said berpandangan bahwa
kader menjadi dewasa bukan karena kemanjaan tapi karena keprihatinan. Dari
hidup yang prihatin terasah persaannya, tajam intuisinya, peka jiwanya, tanggap
nurainya. Pikirannya terlatih, keterampilannya terbina, pelan-pelam jiwa
kepemimpinannya terbangun.[24]
3. Tentang
da’i
Hal yang tak kalah penting dan
selalu ditekankan oleh Abdullah said adalah bahwa letak keberhasilan ceramah
atau da’wah bukan hanya ditentukkan semata karena kemahiran beretorika.
Perhatian pendengar dan audiens sangat ditentukan oleh perilaku dan akhlak
da’i. orang memperhatikan budi pekerti dan tingkah laku sehari-hari. Itulah
sebabnya hal ini justru menjadi prioritas utama.[25] Beliau
mengatakan : ”Da’wah yang lebih didengar adalah da’wah yang diidukung oleh
pembuktian nayat, berupa peragaan dan praktik di lapangan pada diri dan
keluarga.”[26]
Hal lain yang selalu ditekankan
oleh Abdullah Said kepada para da’i Hidayatullah adalah agar tidak meninggalkan
shalat lail demi suksesnya da’wah. Menurut beliau seorang da’i adalah pejuang
Islam yang memikul beban yang sangat berat sehingga seharusnya dia
senantiasa dekat dengan Allah SWT yang akan memberikan keringanan dan kemudahan
dalam menjalankan misi da’wahnya.[27] Beliau
mengatakan: “Bagi mereka yang pernah melakukan shalat lail tentu merasakan dan
mengakui adanya pertarungan yang sangat seru dan sengit dalam menghadapi godaan
syetan dan pengaruh nafsu yang luar biasa kuatnya.”[28]
Manhaj atau metode da’wah
Mengenai manhaj dan metode da’wah
ini Abdullah Said mengatakan bahwa: “Karena ketidak jelasan manhaj,
kadang-kadang da’wah Islam tidak lebih sekedar hura-hura”.[29]
Dengan menapak tilas perjalanan
Rasulullah, Abdullah Said berusaha keras memetik hikmah dari kondisi yang
dialami Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu hingga turunnya 5 surat
pertama sebagai bahan pembinaan. Menurut pendapatnya, Allah SWT yang merekayasa
kondisi Nabi Muhammad demikian itu tentu punya target.[30] Setelah
melalui pengkajian yang intens Abdullah Said akhirnya merumuskan suatu metode
pembinaan berdasarkan tertib turunnya lima surat pertama, yang kemudian dikenal
dengan Manhaj Sistematika Nuzulul Wahyu. Yang selanjutnya metode ini dijadikan
sebagai manhaj da’wah Hidayatullah.[31]
Penutup
Sebagai penutup dari pemaparan
tentang Pemikiran dan Gerakan Da’wah Abdullah Said ini, maka
penulis mencoba menarik kesimpulan, bahwa belaiau benar-benar adalah seorang
da’i yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengembagkan dan menyebarkan
da’wah Islam. Beliau telah berhasil menggurat sejarah, dengan mencetak ratusan
bahkan ribuan da’i, yang kemudian disebar keberbagai penjuru tanah air.
Pemikiran dan aksi da’wah beliau
telah membawa warna dan corak tersendiri bagi pergerakan da’wah di Indonesia.
Beliau selalu melakukan inovasi-inavasi baru dalam aksi da’wahnya, sehingga
membawah ciri tersendiri bagi ormas yang beliau dirikan yaitu Hidayatullah.
Beliau bukanlah manusia ide, tetapi manusia kerja.
Daftara Pustaka
- Manshur Salbu, Mencetak Kader, Perjalanan Hidup Ustadz Abdullah Said Pendiri Hidayatullah,Surabaya: Hidayatullah Publishing, 2009
- Saiful Hamiwanto, Menjemput Pertolongan Allah : kumpulan Kisah Penuh ‘Keajaiban’ Para Da’i Hidayatullah dalam Perjalanan Da’wahnya, Jakarta : Pustaka Inti, 2005
- Arif Husni Majid, Skripsi di STID Mohammad Natsir Jakarta dengan judul: Sistem Pengkaderan Du’at (Studi Tentang System Pengkaderan du’at Hidayatullah Gn. Tembak Balikpapan), Bekasi, 2008
- Majalah Suara Hidayatullah, edisi 01/xx Mei 2007 M Rabiul Akhir 1428 H
- Majalah Suara Hidayatullah, Edisi khusus Milad 2008
- Website http://www.hidayatullah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar