Jumat, 08 April 2016

Pemikiran dan Gerakan Da’wah Allahu Yarham K.H. Abdullah Said

Allahu Yarham KH. Abdullah Said Pendiri Hidayatullah

Pemikiran dan Gerakan Dakwah Pendiri Hidayatullah
Oleh Admin
Pendahuluan

Abdullah Said adalah salah satu dari sekian tokoh Islam yang telah menggurat sejarah di dunia  da’wah khususnya di Indonesia. Beliau bukanlah orang yang hanya kagum mmembaca sejarah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakangnya. Tetapi beliau benar-benar telah melakukan sesuatu yang pantas dicatat oleh sejarah.

Abdullah Said telah melakukan gerakan da’wah yang sangat luarbiasa dan telah mencetak sekian ratus kader yang tersebar hampir diseluruh pelosok pedalaman tanah air. Melihat besarnya jasa beliau dalam kerja da’wah ini, maka penulis mencoba mengebolarasi pemikiran besar beliau tentang da’wah. Walaupun penulis menyadari sangat tidak mungkin menyajikan secara utuh pemikiran dann gerakan-gerakan da’wah beliau, karena keterbatasan referensi yang penulis miliki. Tetapi mudah-mudahan yang singkat ini memberi manfaat bagi kita yang ingin mengikuti jejak kerja keras beliau dalam mengemban misi da’wah.

Riwayat Hidup Abdullah Said

1. Kelahiran dan Keluarganya

Nama kecil Ustadz Abdullah Said adalah Muhsin Kahar. Lahir tepat pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Jum’at, 17 Agustus 1945, di Lamatti Rilau (Panreng), salah satu desa wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai sekitar 227 km dari Makassar ibu kota Profinsi Sulawesi Selatan.

Sejak masih dalam kandungan Abdullah Said sudah jadi perbincangan keluarga dan masyarakat di kampungnya, sebab usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun belum lahir juga, bahkan ada pandangan miring bahwa yang dikandung itu bukan manusia tetapi buaya atau entah apa.[1]

Ayah Abdullah Said bernama Abdul Kahar Syuaib, seorang ulama kharismatik dan menjabat sebagai imam kampung Lamatti. Dikalangan masyarakaat beliau lebih popular dengan sebutan Puang Imang[2]. Sedangkan Ibunya bernama Aisyah, yang lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica. Ia merupakan istri terakhir yang dinikahi setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki : Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’), Muhsin Kahar (Puang Esseng) dan As’ad Kahar (Puang Sade’)[3]. Adapun dari istri pertama Abdul Kahar Syuaib dikaruniai 2 orang anak dan istri yang kedua dikaruniai 6 orang anak. [4]

Setelah berumur 10 tahun Abdullah Said pindah ke Makassar mengikuti Ayahnya. Di Makassar Abdullah Said beserta keluarganya menjalani kehidupan yang memprihatinkan karena belum ada penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2. Pendidikan

Pendidikan formal Abdullah Said di mulai sejak ia masih di kampung kelahirannya dengan masuk  Sekolah Rakyat (SD), namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954. Karena dia harus mengikuti Ayahnya pindah ke Makassar. Abdullah Said diterima di kelas IV Sekolah Rakyat No. 30 Makassar, pendidikan disini dijalaninya hingga tahun 1958. Abdullah Said adalah anak yang cerdas, walaupun dia berasal dari kampung yang sangat terbelakang tapi di kelas dia selalu menjadi bintang kelas. bahkan ketika mengikuti ujian akhir SR, dia mendapatkan nilai tertinggi, yang memungkinkannya untuk memilih sekolah favorit. Dan ternyata pilihannya adalah sekolah agama yaitu Pendidikan Guru Agama Negri 6 Tahun (PGAN 6 tahun). Abdullah Said memilih sekolah ini sebab selain sekolah agama dan unggulan, juga memberikan tunjangan ikatan dinas (disingkat ID) setiap bulannya.

Lulus dari PGAN 6 Tahun (1958-1964) juga dengan nilai tertinggi sehingga ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke IAIN Alaudin Makassar. Namun hanya satu tahun mengikuti kuliah, lalu berhenti. Sebab dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosen telah dibacanya, sehingga dia berkesimpulan bahwa waktu dan energy yang dikorbankan tidak seimbang dengan hasil yang didapatnya.[5]

Adapun pendidikan yang diperoleh Abdullah Said dengan jalur nonformal adalah pendidikan melalui bacaan, masjid, pergaulan dan mendatangi para ulama.

Kegemaran membaca buku sudah terlihat sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun Makassar. Hampir seluruh tunjangan ID yang dia terima setiap bulan dimanfaatkan untuk membeli buku, setiap hari libur tempat wisatanya adalah toko buku. Adapun buku-buku kegemarannya adalah karya-karya Buya Hamka, K.H.M. Isa Anshary, A. Hasan, dan M. Natsir.

Sedangkan pendidikan melalui masjid beliau terima ketika ayahnya sering mengajaknya aktif di masjid dan mendatangi masjid-masjid dimana disitu diadakan pengajian rutin, seperti mendatangi Masjid Raya Makassar setiap Magrib dan Subuh yang relative jauh dari rumahnya. Melalui pergaulan, keaktifan di organisasi dan LSM serta pertemanannya dengan aktivis dan tokoh-tokoh LSM juaga sangat berperan besar dalam perkembangan pengetahuan dan pengalaman Abdullah Said. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi teman akrabnya adalah Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Amien Rais, Adi Sasono dan lain-lain.

Setelah Abdullah Said berhenti dari kuliah, beliau menekuni pendidikan yang dapat mengantarkan beliau menjadi seorang ahli agama. Diantara ulama tempat beliau berguru adalah K.H. Abdul Djabbar Asyiri, Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan pendiri Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Makassar,  yang membimbingnya menghafal dan memahami hadits. Guru lainnya adalah Abdul Malik Ibrahim, mantan Direktur PGAN Makassar membimbingnya belajar Bahasa Arab. Sedangkan gurunya dalam memahami dan mengkaji al-Qur’an adalah K.H. Ahmad Marzuki Hasan, pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa Maros.[6]

Selain berguru kepada ulama-ulama yang ada di Makassar Abdullah Said juga belajar ke pulau Jawa, tujuan beliau adalah Pondok Modern Gontor Ponorogo, tetapi beliau hanya belajar seminggu, untuk kemudian pindah ke Pesantren Persis Bangil. Di sini Abdullah Said banyak berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan (Putra A. Hasan) dan tidak jarang beliau diminta menjadi khatib Jum’at serta ceramah di masjid-masjid Persis. Setelah tiga bulan beliau pindah ke Jakarta dan kemudian kembali ke Makassar melakukan pengkaderan du’at.[7]

 3. Kiprah di Organisasi

1. Organisasi Pelajar


Ketika masih duduk di bangku PGAN 6 Tahun Makassar, Abdullah Said memilih organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai wadah berkiprah. Sebab dia melihat PII memiliki militansi yang kuat dalam memperjuangkan Islam dan sangat gigih menentang keberadaan PKI di negeri ini.

2. Organisasi Pemuda


Organisasi pemuda yang digeluti Abdullah Said adalah organisasi Pemuda Muhammadiyah. Abdullah Said menjadi pengurus organisasi ini dari tingkat cabang hingga pengurus Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara, periode 1966-1968. Dalam kepengurusan ini Abdullah Said duduk sebagai ketua Biro Da’wah dan Publikasi. Pada tahun 1967 beliau diutus mengikuti pengkaderan instruktur tingkat nasional di Yogyakarta.

Selain aktif di Pemuda Muhammadiyah, Abdullah said juga bergabung dalam organisasi pemuda-pelajar Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Sulawesi Selatan, serta aktif dalam kepengurusan organisasi yang bersifat kedaerahan, yakni Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sinjai (HIPPMAS).[8]

3. Organisasi Politik


Dengan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang didukung penuh ormas dan organisasi Islam dengan harapan menjadi penjelmaan Masyumi yang dibubarkan Persiden Soekarno. Abdullah Said tertarik melibatkan diri dalam Parmusi kota Makassar karena ingin terlibat dalam mewujudkan cita-cita Masyumi.
Pada saat Kongres I Parmusi di Malang, Abdullah Said menjadi salah satu peserta, dia sangat berharap agar tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo dan lain-lain dapat duduk menjadi pengurus partai sebagaimana informasi yang tersebar dikalangan keluarga besar Bulan Bintang.

Akan tetapi intervensi pemerintah yang mengeliminasi keputusan kongres yang telah berhasil memutuskan Mohammad Roem sebagai ketua umum membuat kecewa Abdullah Said hingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kegiatannya di partai, dan kembali menggeluti dunianya semula yaitu dunia da’wah.[9]

Gerakan Da’wah Abdullah Said

Aksi-aksi da’wah Abdullah Said mulai terlihat saat beliau aktif diberbagai organisasi pelajar dan kepemudaan. Sebab ketika bergabung ke suatu organisasi beliau selalu menempati bidang yang disukai dan diminatinya yaitu bidang da’wah dan pengkaderan. Beberapa aksi da’wah yang dilakukan Abdullah Said adalah:

  1. Ketika baru berusia 13 tahun, masih duduk di kelas I Pendidikan Guru Agama, beliau telah aktif mengisi khutbah jum’at di berbagai masjid di Makassar termasuk di Masjid Ta’mirul Masjid, ini adalah masjid terbesar kedua di kota Makassar saat itu setelah masjid Raya Makassar. Selain itu beliau juga aktif mengadakan kursus-kursus pidato untuk anak-anak seusianya.
  2. Aktif melakukan pengkaderan pemuda Muhammadiyah diberbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Tenggara ketika beliau duduk sebagai Ketua Biro Da’wah dan Publikasi Pemuda Muhammadiyah Sulselra periode 1966-1968.
  3. Melakukan pengganyangan perjudian di kota Makassar, tepatnya Rabu (malam), 27 Agustus 1969, Abdullah Said mengumpulkan dan mengarahkan pemuda-pemuda Muhammadiyah untuk melakukan pengganyangan. Maka Kamis malam (28 Agustus 1969), kader-kader yang telah digembleng Abdullah Said di Maros dan pemuda-pemuda Muhammadiyah kota Makassar melakukan penyerbuan dan mengobrak abrik tempat perjudian lotto[10]. Peristiwa yang menghebohkan di Sulawesi Selatan ini membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak tokoh dan pemuda Muhammadiyah di tahan. Sedangkan Abdullah Said atas saran pimpinan Muhammadiyah dan teman-teman yang ditahan untuk tidak menyerahkan diri dan meninggalkan kota Makassar. Selama 4 bulan Abdullah Said di kejar-kejar polisi hingga akhirnyaia harus mengganti nama dari Muhsin Kahar menjadi Abdullah Said dan hijrah ke Balikpapan Kalimantan Timur.
  4. Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said ketika tiba di Balikpapan (Maret 1970) adalah mencari bibit kader, maka dilakukanlah penggalangan anak muda, mereka dikumpulkan untuk dikader beberapa bulan. Kemudian tahun 1971, Abdullah Said kembali mengadakan Training Center (TC) Darul Arqam I, dan tahun 1972 TC Darul Arqam II. Dia pun aktif membentuk dan mengisi pengajian rutin dibeberapa masjid di Balikpapan (1970-1972)
  5. Memulai membuka pesantren. Ketika pengajian binaan Abdullah Said mulai marak, beliau pun berfikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat pengkaderan da’i.[11] Dalam perjalanan pendirian pusat pengkaderan ini, terjadi beberapa kali perpindahan lokasi pesantren :
Pertama, Sepulang dari Jakarta yang memboyong beberapa anak muda sebagai tenaga pengajar,[12]kegiatan pesantren untuk pertama kalinya dilakukan di rumah Muhammad Rasyid[13] di Gunung Sari. Ditempat inilah berkunjung beberapa tokoh diantaranya, K.H. AR. Fachruddin (Ketua PP Muhammadiyah), Mei 1973 hadir Buya Hamka, kemudian diakhir tahun hadir Buya Abdul Malik Ahmad, disusul Prof. DR. Kahar Muzakkir.

Kedua, Pada hari Sabtu, 1 Muharram 1394 H (26 Januari 1974), lokasi pesantren pindah kesebidang tanah di daerah Karang Rejo, di daerah yang sangat sepi dan serba terbatas ini didirikan dua buah gubung kecil sebagai tempat belajar. Selama satu tahun kegiatan pengkaderan dilakukan ditempat ini.

Ketiga, Memulai sejarah baru di Karang Bugis, dilokasi baru ini, para santri menempati sebuah emperan rumah milik seorang penduduk sebagai tempat belajar. Setelah beberapa lama, seorang tokoh masyarakat di Karang Bugis bernama H. Andi Kadir Mappassosong mewakafkan tanah seluas 0,5 hektar. Di atas tersebut Abdullah Said membuat perencanaan  pembangunan mushalla, aula serba guna, asrama dan tempat belajar.

Keempat, Membuka Kampus Gunung Tembak (Maret 1976). Setelah di Karang Bugis dirasa semakin sempit, karena banyaknya santri, maka Abdullah Said berfikir mendapatkan lokasi yang memungkinkan untuk mengembangan, baik fisik maupun kegiatan. Maka disebarlah beberapa santri ke segala penjuru Balikpapan, pencarian berlangsung berhari-hari, hingga akhirnya ditemukanlah loksi di Gunung Tembak. Atas bantuan Walikota Balikpapan, Letkol (Pol) H. Asnawie Arbain[14] maka pemilik tanah seluas 5,4 Ha tersebut mewakafkannya kepada Pesantren Hidayatullah. Tepat pukul 15.00 tanggal 3 Maret 1976 lokasi ini dimasuki oleh para santri, dan hari Kamis, 5 Agustus 1976, atas saran dari Walikota Balikpapan pesantren Hidayatullah diresmikan.

Peresmian dilakukan oleh Prof. Dr. Mukti Ali (Mentri Agama RI), didampingi oleh KH. Abdullah Syafi’i (Ketua MUI DKI Jakarta) beseta putrinya, Tuty Alawiyah. Sejak itulah pesantren Hidayatullah semakin ramai, santri terus bertambah terutama kedatangan santri-santri dan teman-teman Abdullah Said dari Sulawesi Selatan.

1. Mengirim Da’i ke Pedalaman

Pengkaderan yang intens dan terus menerus telah berhasil menelorkan banyak da’i, yang kemudian disebar ke daerah-daerah pedalaman yang jarang mendapat sentuhan wahyu. Abdullah Said melakukan pengiriman da’i ke daerah pedalaman, untuk pertama kalinya dilaksanakan pada pertengahan tahun 1975, mereka terdiri dari kader-kader yang masih belasan tahun.

Dalam setiap pelepasan da’i ke medan da’wah, Abdullah Said senantiasa menasehatkan kepada kadernya untuk membahasakan perasaan mereka sendiri yaitu nikmatnya mendekatkan diri kepada Allah SWT lewat pengabdian kepadaNya, menghindari permusuhan sesama kaum muslimin, menyampaikan da’wah dengan bahasa yang bijak dan bersahabat, dan tidak melewatkan satu malam pun tanpa melakukan shalat lail.[15]
Sampai tahun 2006 Hidayatullah telah memiliki  30 DPW, 260 DPD dan hingga tahun 2007 Ormas Hidayatullah telah mengirimkan sekitar 1000 du’at ke berbagai daerah pedalaman. Setidaknya setiap tahun dikirim 150 du’at dengan 50 diantaranya merupakan lulusan Strata Satu.[16]

Berbagai kisah da’i Hidayatullah di daerah pedalam dapat ditemui dalam buku berjudul “Menjemput Pertolongan Allah : kumpulan Kisah Penuh ‘Keajaiban’ Para da’i Hidayatullah dalam Perjalanan Da’wahnya”. Dalam buku tersebut dikisahkan bagaimana perjuangan da’i-da’i  Hidayatullah di medan da’wah, yang sejak keberangkatannya hanya dibekali ongkos untuk sampai tujuan yang kadang tidak cukup.[17] 

2. Penerbitan Majalah Islam

Menerbitkan media massa merupakan satu obsesi besar Abdullah Said. Cita-cita dan harapan hadirnya sebuah media massa milik Pondok  Pesantren Hidayatullah terus diwacanakan. Beliau menjelaskan berulang kali betapa urgennya kehadiran sebuah media bagi Hidayatullah, baik media cetak maupun elektronika.
Menurut beliau yang paling mendesak sekarang ini adalah media cetak karena termasuk media da’wah yang sangat efektif. Dapat masuk langsung ke kamar-kamar, dapat dibaca sambil baring, dapat menyampaikan pesan kapan dan dimana saja kepada pembacanya.[18]

Maka setelah melalui persiapan yang panjang, pada 13 Mei 1982 nomor perdana Buletin Da’wah sebagai cikal bakal Suara Hidayatullah mulai terbit. Buletin ini dicetak sebanyak 500 eksemplar. Kemudian September 1986 terbit dalam bentuk majalah ukuran kecil setebal 88 halaman, tetapi mendapat teguran dari Departemen Penerangan (Deppen) karena belum mengantongi Surat Tanda Terbit (STT). Setelha delapan bulan keluranya izin penerbitan (STT) dari Deppen tahun 1986, majalah ‘Suara Hidayatullah” terbit tepatnya pada tanggal 15 Oktober 1987.[19]

 Pemikiran Da’wah Abdullah Said

Pemikiran da’wah Abdullah Said dapat ditelusuri dari karya tulis, ceramah dan berbagai aktivitas da’wah beliau, sebagai mana yang telah disebutkan sebelumnya. Jika melihat pada catatan-catatan beliau, memang tidak dijumpai tulisan yang secara khusus membahas pandangan atau pemikiran da’wah beliau, ini dapat dimaklumi sebab beliau memang manusia kerja, “Man of Action” seperti yang dikatakan Amien Rais (Mantan MPR-RI, mantan ketua Umum Muhammadiyah), ketika dimintai komentarnya terhadap pribadi Abdullah Said.[20]

Dari berbagai cacatan, ceramah dan gerakan serta aktivitas da’wahnya, dapat diidentifikasi beberapa gagasan sebagai pemikiran da’wah Abdullah Said sebagai berikut:

1. Totalitas dalam kerja da’wah

Bagi Abdullah Said da’wah adalah prioritas utama, dan itulah janji yang ditanamkan dalam hatinya saat masih dalam kejaran polisi dan akan bertolak meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Balikpapan, bahwa : Dimanapun beliau berada nantinya, umurnya akan dihabiskan untuk mengurus Islam.

Kita pun bisa melihat aktivitas keseharian beliau sejak tiba di kota Balikpapan, waktunya dihabiskan untuk hanya memikirkan dan menda’wahkan Islam.  Itu pula yang senantiasa di tekankan kepada santri-santrinya,  keseriusan dan totalitas dalam kerja da’wah, sehingga lahirlah mujahid-mujahid da’wah yang siap dikirim ke berbagai pelosok daerah di negri ini, untuk mengemban tugas da’wah.

Beliau pernah mengatakan tentang kerja da’wh ini bahwa: “Da’wah bukanlah pekerjaan ringan, karenanya Allah tidak menitip amanah ini kepada sembarang orang. Setetes hidayah dari Allah, jauh lebih berarti dari berjilid-jilid buku yang ditulis oleh seorang penulis paling terkenal sekalipun.”[21]

2. Tentang pengkaderan

Sejak umur 13 tahun Abdullah Said sudah memikirkan akan pentingnya kader dalam kelanjutan da’wah ini, maka yang senantiasa dilakukan oleh beliau adalah melakukan pengkaderan. ketika aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PPI), Dia giat mengadakan kursus-kursus pidato untuk anak-anak seusianya. Karena menurut beliau seorang da’i harus memiliki keberanian untuk tampil di depan umum untuk menyampaikan pesan-pesan Allah SWT dan RasulNya. Pengkaderan dan pelatihan muballigh, terus beliau jalankan tanpa henti, hingga beliau wafat.[22]

Tingginya perhatian beliau terhadap pengkaderan ini sehingga beliau terus berpikir untuk mencari metode pengkaderan yang dapat melahirkan kader-kader yang tangguh, sebagaimana pengkaderan yang dilakukan Rasulullah yang melahirkan kader-kader seperti, Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a, Ali r.a dan sahabat-sahabat lainnya. Maka dari kajian dan diskusi yang beliau lakukan, melahirkan sebuah metode yang digunakan dalam mendidik kader yang disebut “Sistematika Nuzulul Wahyu”.[23]

Terkait dengan pembinaan kader ini, Abdullah Said menyatakan bahwa: kaderisasi adalah permasalahan serius yang dighadapi oleh hampir setiap organisasi. Sehingga sering dikatakan, “sekarang kita sedang mengalami krisis kader”.

Abdullah Said berpandangan bahwa kader menjadi dewasa bukan karena kemanjaan tapi karena keprihatinan. Dari hidup yang prihatin terasah persaannya, tajam intuisinya, peka jiwanya, tanggap nurainya. Pikirannya terlatih, keterampilannya terbina, pelan-pelam jiwa kepemimpinannya terbangun.[24]

3. Tentang  da’i

Hal yang tak kalah penting dan selalu ditekankan oleh Abdullah said adalah bahwa letak keberhasilan ceramah atau da’wah bukan hanya ditentukkan semata karena kemahiran beretorika. Perhatian pendengar dan audiens sangat ditentukan oleh perilaku dan akhlak da’i. orang memperhatikan budi pekerti dan tingkah laku sehari-hari. Itulah sebabnya hal ini justru menjadi prioritas utama.[25] Beliau mengatakan : ”Da’wah yang lebih didengar adalah da’wah yang diidukung oleh pembuktian nayat, berupa peragaan dan praktik di lapangan pada diri dan keluarga.”[26]

Hal lain yang selalu ditekankan oleh Abdullah Said kepada para da’i Hidayatullah adalah agar tidak meninggalkan shalat lail demi suksesnya da’wah. Menurut beliau seorang da’i adalah pejuang Islam yang memikul beban yang sangat berat sehingga  seharusnya dia senantiasa dekat dengan Allah SWT yang akan memberikan keringanan dan kemudahan dalam menjalankan misi da’wahnya.[27] Beliau mengatakan: “Bagi mereka yang pernah melakukan shalat lail tentu merasakan dan mengakui adanya pertarungan yang sangat seru dan sengit dalam menghadapi godaan syetan dan pengaruh nafsu yang luar biasa kuatnya.”[28]

Manhaj atau metode da’wah

Mengenai manhaj dan metode da’wah ini Abdullah Said mengatakan bahwa: “Karena ketidak jelasan manhaj, kadang-kadang da’wah Islam tidak lebih sekedar hura-hura”.[29]

Dengan menapak tilas perjalanan Rasulullah, Abdullah Said berusaha keras memetik hikmah dari kondisi yang dialami Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu hingga turunnya 5 surat pertama sebagai bahan pembinaan. Menurut pendapatnya, Allah SWT yang merekayasa kondisi Nabi Muhammad demikian itu tentu punya target.[30] Setelah melalui pengkajian yang intens Abdullah Said akhirnya merumuskan suatu metode pembinaan berdasarkan tertib turunnya lima surat pertama, yang kemudian dikenal dengan Manhaj Sistematika Nuzulul Wahyu. Yang selanjutnya metode ini dijadikan sebagai manhaj da’wah Hidayatullah.[31]

 Penutup

Sebagai penutup dari pemaparan tentang Pemikiran dan Gerakan Da’wah Abdullah Said ini, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, bahwa belaiau benar-benar adalah seorang da’i yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengembagkan dan menyebarkan da’wah Islam. Beliau telah berhasil menggurat sejarah, dengan mencetak ratusan bahkan ribuan da’i, yang kemudian disebar keberbagai penjuru tanah air.
Pemikiran dan aksi da’wah beliau telah membawa warna dan corak tersendiri bagi pergerakan da’wah di Indonesia. Beliau selalu melakukan inovasi-inavasi baru dalam aksi da’wahnya, sehingga membawah ciri tersendiri bagi ormas yang beliau dirikan yaitu Hidayatullah. Beliau bukanlah manusia ide, tetapi manusia kerja.

Daftara Pustaka
  1. Manshur Salbu, Mencetak Kader, Perjalanan Hidup Ustadz Abdullah Said Pendiri Hidayatullah,Surabaya: Hidayatullah Publishing, 2009
  2. Saiful Hamiwanto, Menjemput Pertolongan Allah : kumpulan Kisah Penuh ‘Keajaiban’ Para Da’i Hidayatullah dalam Perjalanan Da’wahnya, Jakarta : Pustaka Inti, 2005
  3. Arif Husni Majid, Skripsi di STID Mohammad Natsir Jakarta dengan judul: Sistem Pengkaderan Du’at (Studi Tentang System Pengkaderan du’at Hidayatullah Gn. Tembak Balikpapan), Bekasi, 2008
  4.  Majalah Suara Hidayatullah, edisi 01/xx Mei 2007 M Rabiul Akhir 1428 H
  5. Majalah Suara Hidayatullah, Edisi khusus Milad 2008
  6. Website http://www.hidayatullah.or.id



Tidak ada komentar: